LANJUTAN..
3. Kembali kepangkuan ibunda tecinta
Dengan
adanya peistiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As-Sya’diyah merasa khawatir
terhadap keselamatan beliau, sehingga ia mengembalikan beliau kepada ibunya. Kemudian
beliau hidup bersama ibunda tecinta hingga berumur enam tahun.
Beberapa
waktu kemudian Aminah binti Wahb measa perlu mengenang suaminya yang telah
meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia
peergi dari Mekkah menempuh perjalanan sejauh 500 km, besama putranya yang
yatim, yaitu Rasulullah SAW, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah
menetap satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombonganya siap-siap
untuk kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang dia jatuh sakit dan aklirnya
meninggal dunia di Abwa’, yang teletak diantara Mekkah dan Madinah.
4.
dalam asuhan kakeknya yang penuh kasih sayang
Abdul
Muthalib membawa Rasulullah SAW kembali ke Mekkah. Perasaan kasih sayang di
dalam hatinya terhadap cucunya yang yaitm piatu semakin kuat, karena cucunya
harus menghadapi cobaan baru diatas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh
perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap
anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia
lebih mengutamakan cucunya dari pada anak-anaknya.
Ibnu
Hisyam menceitakan,” ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk
Abdul Muthalib. Sedangkan kerabat-kerabatnya biasa duduk disekeliling dipan itu
hingga Abdul Muthalib ke luar kesana, dan tidak ada seorang pun di antara
mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya.
Suatu
hari-saat Rasulullah SAW telah menjadi anak kecil yang montok-beliau duduk di diatas
dipan itu, maka paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak
duduk diatas dipan itu. Tatkala Abdul Muthalib melihat kejadian ini, dia
berkata,” biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki
kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama beliau di atas
dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap
apapun yang beliau lakukan.
Pada
usia 8 tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah SAW kakeknya
meninggal dunia di Mekkah. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib sudah
berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamanya, Abu Thalib, saudara
kandung bapak beliau.
5.
dalam asuhan pamannya yang penyayang
Abu
Thalib menjalankan kewajiban yang di embankan kepadanya untuk mengasuh
keponakannya dengan penuh tanggung jawab seperti halnya dia mengasuh
anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya di atas
kepentingan mereka. Selain itu, ia mengistimewakannya dengan penghargaan yang
begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di
atas empat puluh tahun. Paman beliau masih tetap memuliakan, memberikan
pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobarkan permusuhan
dalam rangka membelanya. Pembahasan tentang hal ini akan dijelaskan dalam
bagian tersendiri oleh sang penulis.
6.
meminta hujan dengan wajah beliau
Ibnu
Asakir meriwayatkan dari Julhumah bin Arfathah, yang berkata,”tatkala aku tiba
di Mekkah, orang-orang sedang dilanda musim paceklik”. Orang-orang Quaisy
berkata,’wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah
kita meminta hujan.’ Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil,yang seolah-olah
wajahnya adalah matahari yang membawa awan yang sedang berjalan pelan-pelan. Disekitar
Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu
dan menempelkan punggungnya kedinding Ka’bah. Jari-jemarinya memegangi anak
itu. Langit yang tadinya bersih, tiba-tiba saja mendung datang dari segala
penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi
dan lading-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair
yang dibacakannya:
“putih
berseri meminta hujan dengan wajahnya
Penolong anak
yatin dan pelindung janda”
7.
bersama sang rahib buhaira
Keika
Rasulullah SAW mencapai dua belas tahun-ada yang berpendapat lebih dari dua
bulan 10 hari- Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam,
hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang
merupakan ibu kota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab,
walaupun di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Di negri ini ada seorang rahib yang
dikenal dengan sebutan Bahira. Nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan
singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilakan mereka
mampir ketempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal, sebelumnya rahib
tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah SAW
dari sifat-sifat beliau.
Sambil
memegang tangan beliau, sang rahib berkata,”orang ini adalah pemimpin semesta
alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai
rahmat bagi seluruh alam.”
Abu
Thalib bertanya,”dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib
Bahira menjawab,”sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan
pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan
kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dai cincin nubuwah yang berada
dibagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga
mendapat tanda itu di dalamkitab kami.”
Kemudian
sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa
melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan orang-orang Yahudi. Maka
Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Mekkah.
Bersambung…………..(perang
fijar/fujjar)
sumber ;
Al-Rahiq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Nabi Muhammad)
Karya :
Syaikh Safiyyurrahman Al-Mubarakfuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar