Rabu, 07 September 2016

SIRAH NABAWIYAH (edisi 10)


LANJUTAN..

3. Kembali kepangkuan ibunda tecinta
Dengan adanya peistiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As-Sya’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga ia mengembalikan beliau kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tecinta hingga berumur enam tahun.
Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb measa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia peergi dari Mekkah menempuh perjalanan sejauh 500 km, besama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah SAW, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombonganya siap-siap untuk kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang dia jatuh sakit dan aklirnya meninggal dunia di Abwa’, yang teletak diantara Mekkah dan Madinah.
4. dalam asuhan kakeknya yang penuh kasih sayang
Abdul Muthalib membawa Rasulullah SAW kembali ke Mekkah. Perasaan kasih sayang di dalam hatinya terhadap cucunya yang yaitm piatu semakin kuat, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru diatas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak-anaknya.
Ibnu Hisyam menceitakan,” ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muthalib. Sedangkan kerabat-kerabatnya biasa duduk disekeliling dipan itu hingga Abdul Muthalib ke luar kesana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya.
Suatu hari-saat Rasulullah SAW telah menjadi anak kecil yang montok-beliau duduk di diatas dipan itu, maka paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk diatas dipan itu. Tatkala Abdul Muthalib melihat kejadian ini, dia berkata,” biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apapun yang beliau lakukan.
Pada usia 8 tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah SAW kakeknya meninggal dunia di Mekkah. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamanya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.
5. dalam asuhan pamannya yang penyayang
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang di embankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab seperti halnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan mereka. Selain itu, ia mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun. Paman beliau masih tetap memuliakan, memberikan pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobarkan permusuhan dalam rangka membelanya. Pembahasan tentang hal ini akan dijelaskan dalam bagian tersendiri oleh sang penulis.
6. meminta hujan dengan wajah beliau
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Julhumah bin Arfathah, yang berkata,”tatkala aku tiba di Mekkah, orang-orang sedang dilanda musim paceklik”. Orang-orang Quaisy berkata,’wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita meminta hujan.’ Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil,yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa awan yang sedang berjalan pelan-pelan. Disekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya kedinding Ka’bah. Jari-jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba-tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan lading-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya:
            “putih berseri meminta hujan dengan wajahnya
Penolong anak yatin dan pelindung janda”
7. bersama sang rahib buhaira
Keika Rasulullah SAW mencapai dua belas tahun-ada yang berpendapat lebih dari dua bulan 10 hari- Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibu kota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Di negri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira. Nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilakan mereka mampir ketempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal, sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah SAW dari sifat-sifat beliau.
Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata,”orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini  akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Abu Thalib bertanya,”dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab,”sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dai cincin nubuwah yang berada dibagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga mendapat tanda itu di dalamkitab kami.”
Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Mekkah.

Bersambung…………..(perang fijar/fujjar)  
sumber ;
Al-Rahiq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Nabi Muhammad)
Karya : Syaikh Safiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar