Pengertian
Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah (baca: kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab
adalah bentuk jamak dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat
menghubungkan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu.
Sedangkan kata “wurud” merupakan
bentuk isim masdar (kata benda
abstrak) dari warada, yaridu, wurudan
yang berarti datang atau sampai.
Menurut as-Suyuthi secara terminologis asbabul
wurud diartikan sebagai :
“sesuatu
yang menjadi thariq ( metode ) untuk menentukan maksut suatu hadis yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan
ada tidaknya naskh (pembatalan ) dalam suatu hadis.”
Sementara
itu, ada pula ulama yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan
pengertian asbabul nuzul.[1]
Dari
tiga definisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa asbabul wurud itu sama halnya
dengan asbabul nuzul. Asbabul wurud merupakan sebab-sebab terjadinya sesuatu
atau yang melatar belakangi sesuatu, dalam hal ini munculnya suatu hadits.
Mekanisme munculnya sebuah hadits
Mekanisme munculnya sebuah hadis ada dua macam yaitu muncul
disertai dengan Asbabul Wurud, dan muncul tanpa
asbabul wurud.
1.
Dengan
asbabul wurud
yaitu
hadis muncul karena ada suatu kejadian sehingga Rasulullah mengeluarkan hadis
untuk menerangkannya atau hadis muncul karena ada yang melatarbelakanginya.
Mekanisme ini biasanya berkaitan dengan syariat islam. Contoh:
Mandi Jum’at
عَنْ عُمَرِ
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ
الْجُمُعَةُ فَلْيَغْتَسِلْ
’’Dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah SAW bersabda apabila salah
seorang kamu datang untuk menunaikan shalat jum’at, maka hendaklah mandi.’’
(HR. Malik, al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan an-Nasa’i)
Asbabul Wurud:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dan
dinyatakan sebagai hadis shahih, dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa
pernah ada dua orang penduduk Iraq datang kepada Ibnu Abbas yang menanyakan
soal mandi di hari jum’at, apakah mandi jum’at itu wajib hukumnya? Ibnu Abbas
lalu menjawab : ‘’Barang siapa mandi di hari jum’at itu lebih baik, dan
lebih bersih’’. Ibnu Abbas lalu menceritakan kepada orang tadi, mengapa ada
perintah mandi jum’at. Pada zaman dulu, di masa Nabi SAW, orang-orang biasa
memakai kain wol kasar. Mereka adalah para petani kurma yang biasa menyirami
pohon kurmanya. Pada zaman dulu masjid relatif sempit, sehingga orang-orang
yang masuk kedalam masjid saling berhimpitan. Kebetulan pada hari jum’at, cuaca
sangat panas. Waktu itu, Rasulullah SAW keluar untuk berkhutbah di mimbarnya.
Ketika beliau sedang berkhuttah ternyata bau keringat para petani kurma tadi
terasa sangat mengganggu sebagian yang lain dan bahkan tercium oleh hidung
Rasulullah . Maka Nabi kemudian bersabda:
يا أيها الناس
إذاكان هذا اليوم فاغتسلوا وليمسن أحدكم أ طيب مايجد من طيه أودهنه
’’Wahai manusia ! apabila datang hari jum’at seperti ini, maka
hendaklah kalian mandi dan memakai harum-haruman (minyak wangi).’’ [2]
2.
Tanpa
Asbabul wurud
Hadis
yang muncul tanpa ada sebab yang melatar belakanginya, biasanya membahas
tentang pribadi Rasulullah. Contoh:
Memecah Tulang
Mayit
عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيَّتِ
كَكَسْرِهِ حَيًّا.
’’Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ’’ Memecah
tulang mayit itu seperti memecah tulangnya dalam keadaan hidup.’’ (HR. Abu Dawud)
Asbabul Wurud:
Pada sebagian hadis Ibnu Mani’, beliau berkata : ’’Bahwa
Mahraz bin ‘Aruf telah menceritakan kepada kami. Beliau menerima riwayat dari
al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Aqil dari Jabir. Beliau berkata: ’’Suatu
ketika kami keluar membawa jenazah bersama Rasulullah sampai kekuburan. Nabi
SAW kemudian duduk di sisi kuburan itu, kamipun ikut duduk di sisi beliau.
Tiba-tiba ada seorang sahabat yang sedang menggali kuburan dan menemukan tulang
betis dan lengan manusia. Dia lalu pergi untuk memecahkannya . melihat hal itu,
maka Nabi SAW bersabda:
لاَ تَكْسِرْهَا
فَإِنَّ كَسْرَكَ إِيَّاهُ مَيِّت كَسْرُكَ إيَّاهُ حَيَّا وَلَكِنَّ دسه فِى
جَانِبَ الْقَبْرِ ق
’’Janganlah kamu pecah tulang tersebut, karena kamu memecahnya
dalam keadaan sudah mati itu seperti memecahnya dalam keadaan hidup, Oleh
karena itu, tulang itu di sisi kuburannya.’’[3]
CARA MENGETAHUI SEBAB MUNCULNYA
SEBUAH HADITS DAN NILAI RIWAYAT DIDALAMNYA
Ijtihad adalah mujtahid mencurahkan segala kemampuan
dalam mendapatkan pengetahuan mengenai hukum-hukum syara’ dengan cara istinbat.
Ijtihad dalam sabab al wurud bertujuan melihat sabab al-wurud
yang tidak disebut dalam Nash Nabawi atau sahabi. Maka didapati
jalan untuk mengetahui sabab al-wurud al-hadits itu tiga:
1.
Melalui al-Nash
al-Nabawi yaitu hadis Nabi saw sendiri. al-Nash al-Nabawi secara
sarin atau terang yaitu jelas dan tidak ada kesamaran bahwa itu bukan sabab
wurudnya. Sanad dan matannya baik yaitu susunan lafadnya tidak cacat
dan maknanya tidak bertentangan ayat al-Quran.
2.
Aqwal al
sahabat
Ini karena golongan yang paling dekat dengan Rasulullah, mendengar
ucapan-ucapan Nabi dan menyaksikan terhadap hadis-hadis Nabi dalam bentuk tindakan.
Namun jika sahabat menyebut sabab al-Wurud bagi sebuah hadis yang tidak
dianggap sebagai marfu’, maka sebelum menerimanya
wajib memastikan bahwa ia benar-benar ucapan sahabat.untuk memastikan hal itu
maka disana ada dua dhabith yang mesti dipatuhi:
1)
Dhabith (pasti) riwayat berkenaan
2)
Dhabith bahwa perkataan itu mauquf kepada Nabi saw.
Dengan syarat Tidak bertentangan dengan hadis lain yang terbit dari Nabi saw,
tidak ada riwayat sahabat lain yang bertentangan.
3.
Al-Ijtihad
Disini banyak sabab yang memerlukan ihtihad untuk menyingkap sabab
al-wurud dalam faktor-faktor fiqihi yang menuju arah ijtihad.
Melalui ijtihad membantu menyimpulkan hukum fiqih yang kelihatan
bertentangan dengan kedua sumber syara’.[4]
MACAM-
MACAM ASBABUN WURUDIL HADIS
Menurut Imam as-Suyuthi, asbabul
wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu;
1. Sebab
yang berupa ayat al-Qur’an
Artinya disini ayat
al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW mengeluarkan sabdanya. Contohnya dalam
firman Allah SWT yang berbunyi :
“Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampur-adukan iman mereka
dengan kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka
itu orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’am : 82)
Ketika itu sebagian
sahabat memahami kata “ azh-zhulmu”
dengan pengertian al-jaur yang
berarti berbuat aniyaya atau melangggar aturan, Nabi SAW kemudian memberikan
penjelasan bahwa maksud azh-zhulmu
dalam firman tersebut adalah asy-syirku
yakni perbuatan syirk.
2. Sebab
yang berupa hadis
Artinya pada waktu itu
terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka
kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut.
3. Sebab
yang berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan sahabat.[5]
FAEDAH
MEMPELAJARI ASBABUL WURUD
1. Mentakhsish
( mengkhususkan ) arti yang umum
Ini terlihat missal
dalam hadis “ Pahala orang yang duduk, setengah dari shalat orang yang
berdiri”, Dari hadis dijelaskan bahwa hadis tersebut mengandung maksud khas
yang ditunjukan kepada mereka yang mampu berdiri ,dengan mengecualikan yang
tidak mampu berdiri.
2. Membatasi
arti yang mutlak
3. Merinci
yang mujmal (global).
4. Menentukan
persoalan “naskh” (penidak berlakuan ) dan menjelaskan nasikh dan
mansukh (yang menidakberlakukan dan yang ditidak berlakukan)
5. Menerangkan
‘illat (alasan) suatu hukum
6. Menjelaskan
kemusykilan.[6]
CONTOH DARI ASBABUL WURUDIL HADITS
1. Tentang
cincin perak
اِتَّخِذْهُ مِنْ وَرَقٍ وَلَا تُتِمَّهُ مِثْقَالًا
Artinya
“ Ambillah cincin yang
dari perak dan jangan cukupkan beratnya satu mitsqal”
Diriwayatkan oleh : Abu Daud, Turmidzi,
Nasai dan Ibnu Hibban dari Buraidah. Menurut Turmidzi hadist ini ghorib.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar : “para isnadnya ada orangbernama Abdullah bin Muslim
Al Marwazi, sebutannya Abu Zhabiyyah. Ibnu Hibban dalam ‘Ats Tsiqaat” menilai
bahwa derajat hadits ini paling sedikit hasan.
Sababul wurud :
Dijelaskan dalam Sunan Abu Daud dari
Buraidah dari ayahnya, bahwa seorang laki laki telah datang kepada Nabi SAW. Ia
memakai cincin dari jenis logam berwarna kuning. Rosulullah bersabda : “Aku
mencium bau berhala dari (tanganmu) maka ia pun melemparkan cincin tersebut.
Kemudian ia datang dan ia datang kembali, memakai cincin dari besi. Kata
rosulullah : “aku melihat apa yang ada pada tanganmu perhiasan ahli neraka”.
Iapun melemparkannya. “Jadi, sebaiknya apa yang boleh di pakai?” rosululloh
menjawab : “ pakailah cincin dari perak yang jumlahnya tidak sampai semitsqal”.[7]
2.
Hadis tentang
keharusan Mahram bagi wanita ketika berpergian.
Imam Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ibn Abbas dan yang lainnya secara marfu’ :
لَاتُسَافِر
اِمْرَأَةٌ إِلّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Artinya:
“Tidak boleh seorang perempuan berpergian, kecuali dengan mahramnya.”
Hadis ini muncul dengan
alasan dibalik larangan ini adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang
berpergian sendiri tanpa disertai suami atau mahram. Ketika itu, sarana
transportasi adalah unta, bighal, dan keledai. Mereka biasanya menempuh
padang pasir dan daerah-daerah sepi dan tidak berpenghuni. Jika dalam kondisi
perjalanan seperti itu, seorang perempuan luput dari bahaya, harga dirinya akan
tetap tercemar.[8]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas tersurat bahwa
kajian terhadap asbab al wurud al hadis menjadi sangat penting untuk menentukan
makna ideal dalam memahami hadis, memang tidak semua hadis mengandung
sebab-sebab keluarnya tetapi sebagian hadis yang memiliki sebab-sebab dimaksud
akan memberikan kemudahan,memberikan interpretasi terhadap makna suatu hadis.
Asbabul
wurud merupakan segala sesuatu yang dapat menghubungkan
kepada sesuatu yang lain.
referensi :
[1]Said Agil Husin
Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 7-8.
[4]Saeful hadi, Ulumul
Hadits, (Yogyakarta: Sabda Media, 2014) hlm. 29-34.
[5]Said agil
Husain Munawwwar, Asbabul Wurud, hlm.9-12.
[6]Al-hafizh
Jalaluddin as-Sayuthi, terj. Taufiqullah,Afif Mohammad, Proses lahirnya sebuah hadits, (Bandung: Pustaka,1406 H- 1985 M),
hlm.6-15
[7]Hamzah al
Husaini al Hanafi, Asbabul Wurud, terj. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002) hlm. 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar