Selasa, 16 Agustus 2016

ILMU MUKHTALIFUL HADIS



1.      Pengertian Mukhtaluful Hadis
Secara bahasa, Mukhtalif (ختلفmerupakan isim fa’il yang berasal dari kata  ا ختلف-ىختلف : berselisih atau berkebalikan dari cocok, sepakat. Sedangkan menurut istilah, ilmu mukhtaliful  hadis adalah ilmu yang membahas terhadap hadis-hadis yang nampak saling bertentangan, lalu mengkompromikan antara keduanya, atau diunggulkan oleh salah satu keduanya.[1]
Definisi lain mukhtaliful hadis  adalah hadis yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.[2] Dan para muhadditsin juga menyebutkan bahwa mukhtaliful hadis yaitu  hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku sehingga mengesahkan makna yang bathil atau yang bertentangan dengan nashsh syara’  yang lain.[3]
Dari uraian diatas kelompok kami menyimpulkan bahwa mukhtaaliful hadis merupakan suatu hadis yang membahas tentang hadis yang saling bertentangan dalam maknanya, lalu mengkompromikan antara  keduanya

2.      Urgensi ilmu mukhtaliful Hadis.
Mengenai urgensi ilmu mukhtaliful hadis ini, para ulama hadis telah memberikan komentarnya tentang ilmu mukhtaliful hadis. Salah satunya yaitu orang yang mempelajarinya harus mempunyai daya tangkap tinggi, pemahaman mendalam, pengetahuan luas, dan pengalaman yang baik. Yang telah di kemukakan oleh ulama sebagai berikut :
a)        Nur al-Din’ithr mengatakan, mukhtaliful hadis merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi setiap orang alim dan fiqih, agar  dapat mengetahui maksud yang hakiki dari hadis-hadis yang tampak bertentangan.
b)        Al-Sakhawi mengatakan, ilmu mukhtaliful hadis termasuk jenis yaang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh para ulama diberbagai disiplin. Adapun yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus Imam yang memadukan antara hadis dan fiqih dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.[4]




3.      Contoh Mukhtaliful Hadis.
Rosulullah bersabda:

ا لْمَا ء لاَ ىُنَجِّسُهُ شَيْءُ

Artinya: “Air tidak bisa dinajiskan oleh siapapun.”


إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْن لَمْ يَحْمِلْ نَجسًا

Artinya: “jika air telah mencapai dua kulah, maka tidak akan membawa najis.”
Sekilas dua hadis tersebut tampak bertentangan, namun hadis tersebut dapat dikompromikan hingga tidak terjadi pertentangan. Ibnu Qutaibah mengatakan, Rosulullah menyabdakan hadis pertama berdasarkan kebiasaan dan yang paling banyak terlihat. Karena spernyataan beliau tersebut merupakan khususan.
Dengan demikian ukuran kulah air itu dua kulah, suatu ukuran yang tidak dapat dinajiskan.[5]
Contoh yang kedua diambil dari Al-Shan’ani, yang berbunyi:
قو له صلي الله عليه و سلم فيما سقت السماء العشر. ( أخر جه أحمد و البجارى وأبو داود والتر مىذى والنساء وابن ما جه )            sabda Nabi saw. “semua tanaman yang diairi oleh hujan terkena zakat sepersepuluh”. Bertentangan dengan hadis yang berbunyi dibawah ini
قو له صلي الله عليه و سلم "ليس فيم دون خمس أو سق صدقه" (أخر جه أحمد والشىخان وأهل السنن)                           
             Sabda Nabi saw. “hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq tidak terkena zakat”.
Kedua hadis yang lahiriahnya bertentangan ini dapat disatukan dengan cara meletakkan hadits pertama sebagai dalil umum, sedangkan hadits kedua sebagai mukhasshish. Untuk ini berlaku kaedah.
تقليم الخاص في العمل علي العام
(mendahulukan mengamalkan dalil khas- hadist kedua diatas- atas dalil umum, yang disebut duluan).
Masih banyak contoh lainnya. Konon kasus tentang pertentangan tentang antara dua hadist itu sudah ada semenajak masa sahabat, sehingga kebutuhan terhadap ilmu ini sudah ada semenjak itu.[6]

4.      Metode Yang Ada Dalam Ilmu Mukhtaliful Hadis:
Metode tersebut terbagi menjadi 2 yaitu secara umum dan khusus atau bisa disebut juga dengan muthaq dam muqayyad.
Metode khusus dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, dimana, dan kapan, dan kepada siapa Nabi bersabda. As-Shan’ani mengatakan bahwa banyak diantara hadis-hadis yang diambil atau dicontohkan oleh sebagian ulama sebagai hadis-hadis Mukhtalif tetapi sebenarnya hanya menyangkut  ‘am dan khash, ketika ‘am dan khash dikompromikan keduanya wajib diamalkan.
Metode umum, dapat dikerangkakan bahwa kekhusuan itu terkait dengan kondisi atau konteks ruang, waktu, dan lawan bicara. Tentang kepada siapa Nabi bersabda, dapat pula dalam kemungkinan kepada kelompok atau perorangan.[7]

5.      Metode yang digunakan dalam menyelesaikan hadis Mukhtaliful Hadis:
a)      Metode Al-Jam’u wa al-Tawfiq(mengkompromikan).
Maksud dari metode ini adalah penyelesaian hadis yang bertentangan dengan cara mencari titik temu kandungan hadis-hadis tersebut, sehingga maksud sebenarnyayang dikehendaki oleh masing-masingnya dapat dikompromikan, sehingga masing-masing dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.
b)      Metode al-Nasakh.
Dari metode al-nasakh adalah penyelesaian hadis yang bertentangan dengan mengetahui kronologi munculnya hadis-hadis yang satu sama lain yang saling berbeda makna tekstualnya. Jika hal tersebut diketahui, maka hadis yang muncul lebih dulu dinilai telah di-nasakh (dihapus hukumnya) oleh hadis yang datang setelahnya.
c)      Metode al-Tarjih.
Maksud dari metode al-tarjih adalah penyelesaian hadis yang bertentangan dengan membandingkan hadis yang secara tekstual saling berbeda maknanya, dengan menyelidiki hal-hal yang terpaut dengan masing-masingnya agar diketahui mana hadis-hadis yang lebih kuat untuk dipegang sebagai dalil hukum.

d)     Metode al-Tawaqquf.
Yang dimaksud dengan metode al-tawaqquf adalah hadis-hadis yang bertentangan didiamkan, tidak dijadikan dalil hukum dalam jangka waktu yang tidak ditentukan sebelum ditemukan dalil yang menguatkan salah satunya.
e)      Metode al-Takhyir.
Yang dimaksud dengan metode al-takhyir adalah penyelesaian hadis yang bertentangan dengan cara memilih salah satu dari beberapa hadis mengenai persoalan tertentu.[8]

Yang demikian karena beberapa Hadis shahih tentang perihal yang sama dengan makna yang berbeda-beda tidak diamalkan pada waktu yang bersamaan, tetapi mesti dipilih salah satunya, seperti yang menyangkut tanawwu’al-ibadah (hadis-hadis yang menyangkut ragam peribadatan).

6.      Kitab-kitab Mukhtaliful Hadis.
Kitab paling awal dalam bidang ilmu ini adalah kitab Ikhtilaf al-hadis, karya imam syafi’i (150-204 H).
Adapun diantara kitab-kitab Mukhtaliful hadis yaitu:
a.        Ta’wil Mukhtalif al-Hadis oleh al-Hafidh Abdullah bin Muslim al-Dainury (213-276). Kitab tersebut merupakan jawaban bagi para penentang hadis, dan penuduh para ahli hadis yang sengaja mengumpulkan hadis-hadis yang saling berlawanan dan meriwayatkan hadis-hadis musykil. Dalam kitab tersebut tampak lahirnya lahirnya belawanan tapi pada hakikatnya tidak demikian.
b.        Musykil al-Atsar oleh Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Thahawy (239-321 H).
c.          Musykil al-Hadis wa Bayanuh oleh Abu Bakar Muhammad al-Asbihany (406 H). Di dalamnya disusun beberapa hadis Nabawy yang menurut lahirnya diduga serupa dan berlawanan yang dituduhkan oleh orang-orang yang memusuhi agama. Melalui penjelasan yang diuraikan dalam kitab terssebut selain didasari oleh nash juga berpihak kepada analisa yang logis.[9]



1      KESIMPULAN
Ilmu mukhtaliful  hadis adalah ilmu yang membahas terhadap hadis-hadis yang nampak saling bertentangan, lalu mengkompromikan antara keduanya, atau diunggulkan oleh salah satu keduanya. Di dalam ilmu mukhtaliful hadis terdapat beberapa metode dalam penyelesaian hadisnya dengan cara: 1) al-Jam’u wa al-Tawfiq, 2) al-Tarjih, 3) al-Nasakh, 4) al-Tawaqquf, 5) al-Tahyir. Adapun juga kitab-kitab didalam ilmu mukhtaliful hadis: Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, Musykil al-Atsar, Musykil al-Hadis wa Bayanuh.
 
referensi ;
 
[1] Muhammad Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 77
[2] Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Cet. VII (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,  2013), hlm. 127
[3]Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 350
[4]Muhammad Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013),  hlm. 80
[5]Ibid., hlm. 80-81
[6] Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis,  (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2011), 140-141
[7]Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, ( Jakarta; Erlangga, 2010), 116-117
[8]Muhammad Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013),  hlm. 78-80
[9]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: teras, 2010),hlm. 332

1 komentar: