1.
Pengertian
Mukhtaluful Hadis
Secara bahasa, Mukhtalif ( (مختلفmerupakan isim
fa’il yang berasal dari kata ا ختلف-ىختلف :
berselisih atau berkebalikan dari cocok, sepakat. Sedangkan menurut istilah,
ilmu mukhtaliful hadis adalah
ilmu yang membahas terhadap hadis-hadis yang nampak saling bertentangan, lalu
mengkompromikan antara keduanya, atau diunggulkan oleh salah satu keduanya.[1]
Definisi lain mukhtaliful hadis adalah hadis yang diterima namun pada
zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam
maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.[2]
Dan para muhadditsin juga menyebutkan bahwa mukhtaliful
hadis yaitu hadis-hadis yang lahirnya
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku sehingga mengesahkan makna yang
bathil atau yang bertentangan dengan nashsh syara’ yang lain.[3]
Dari uraian diatas kelompok kami menyimpulkan bahwa mukhtaaliful
hadis merupakan suatu hadis yang membahas tentang hadis yang saling
bertentangan dalam maknanya, lalu mengkompromikan antara keduanya
2.
Urgensi
ilmu mukhtaliful Hadis.
Mengenai urgensi ilmu mukhtaliful hadis ini, para ulama
hadis telah memberikan komentarnya tentang ilmu mukhtaliful hadis. Salah
satunya yaitu orang yang mempelajarinya harus mempunyai daya tangkap tinggi,
pemahaman mendalam, pengetahuan luas, dan pengalaman yang baik. Yang telah di
kemukakan oleh ulama sebagai berikut :
a)
Nur
al-Din’ithr mengatakan, mukhtaliful hadis merupakan kebutuhan yang
sangat penting bagi setiap orang alim dan fiqih, agar dapat mengetahui maksud yang hakiki dari
hadis-hadis yang tampak bertentangan.
b)
Al-Sakhawi
mengatakan, ilmu mukhtaliful hadis termasuk jenis yaang terpenting yang
sangat dibutuhkan oleh para ulama diberbagai disiplin. Adapun yang bisa
menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus Imam yang memadukan
antara hadis dan fiqih dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.[4]
3. Contoh Mukhtaliful Hadis.
Rosulullah bersabda:
ا لْمَا
ء لاَ ىُنَجِّسُهُ شَيْءُ
Artinya:
“Air tidak bisa dinajiskan oleh siapapun.”
إذَا
بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْن لَمْ يَحْمِلْ نَجسًا
Artinya:
“jika air telah mencapai dua kulah, maka tidak akan membawa najis.”
Sekilas dua hadis tersebut tampak bertentangan, namun hadis
tersebut dapat dikompromikan hingga tidak terjadi pertentangan. Ibnu Qutaibah
mengatakan, Rosulullah menyabdakan hadis pertama berdasarkan kebiasaan dan yang
paling banyak terlihat. Karena spernyataan beliau tersebut merupakan khususan.
Dengan demikian ukuran kulah air itu dua kulah, suatu ukuran yang
tidak dapat dinajiskan.[5]
Contoh yang kedua diambil dari Al-Shan’ani, yang berbunyi:
قو له صلي الله عليه و سلم فيما سقت السماء
العشر. ( أخر جه أحمد و البجارى وأبو داود والتر مىذى والنساء وابن ما جه ) sabda Nabi saw. “semua tanaman yang diairi
oleh hujan terkena zakat sepersepuluh”. Bertentangan dengan hadis yang berbunyi
dibawah ini
قو له صلي الله عليه و سلم "ليس فيم دون
خمس أو سق صدقه" (أخر جه أحمد والشىخان وأهل السنن)
Sabda Nabi saw. “hasil tanaman yang kurang
dari 5 wasaq tidak terkena zakat”.
Kedua hadis yang lahiriahnya bertentangan ini dapat disatukan dengan
cara meletakkan hadits pertama sebagai dalil umum, sedangkan hadits kedua
sebagai mukhasshish. Untuk ini berlaku kaedah.
تقليم الخاص في العمل علي العام
(mendahulukan mengamalkan dalil khas- hadist kedua diatas- atas dalil
umum, yang disebut duluan).
Masih banyak contoh lainnya. Konon kasus tentang pertentangan tentang
antara dua hadist itu sudah ada semenajak masa sahabat, sehingga kebutuhan
terhadap ilmu ini sudah ada semenjak itu.[6]
4. Metode Yang Ada Dalam Ilmu Mukhtaliful
Hadis:
Metode tersebut terbagi menjadi 2 yaitu
secara umum dan khusus atau bisa disebut juga dengan muthaq dam muqayyad.
Metode khusus dapat pula dilihat kekhususan
dari konteks kapan, dimana, dan kapan, dan kepada siapa Nabi bersabda. As-Shan’ani
mengatakan bahwa banyak diantara hadis-hadis yang diambil atau dicontohkan oleh
sebagian ulama sebagai hadis-hadis Mukhtalif tetapi sebenarnya hanya
menyangkut ‘am dan khash,
ketika ‘am dan khash dikompromikan keduanya wajib diamalkan.
Metode umum, dapat dikerangkakan bahwa
kekhusuan itu terkait dengan kondisi atau konteks ruang, waktu, dan lawan
bicara. Tentang kepada siapa Nabi bersabda, dapat pula dalam kemungkinan kepada
kelompok atau perorangan.[7]
5.
Metode
yang digunakan dalam menyelesaikan hadis Mukhtaliful Hadis:
a)
Metode
Al-Jam’u wa al-Tawfiq(mengkompromikan).
Maksud dari metode ini adalah penyelesaian hadis yang bertentangan
dengan cara mencari titik temu kandungan hadis-hadis tersebut, sehingga maksud
sebenarnyayang dikehendaki oleh masing-masingnya dapat dikompromikan, sehingga
masing-masing dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.
b)
Metode
al-Nasakh.
Dari metode al-nasakh adalah penyelesaian hadis yang
bertentangan dengan mengetahui kronologi munculnya hadis-hadis yang satu sama
lain yang saling berbeda makna tekstualnya. Jika hal tersebut diketahui, maka
hadis yang muncul lebih dulu dinilai telah di-nasakh (dihapus hukumnya)
oleh hadis yang datang setelahnya.
c)
Metode
al-Tarjih.
Maksud dari metode al-tarjih adalah penyelesaian hadis yang
bertentangan dengan membandingkan hadis yang secara tekstual saling berbeda
maknanya, dengan menyelidiki hal-hal yang terpaut dengan masing-masingnya agar
diketahui mana hadis-hadis yang lebih kuat untuk dipegang sebagai dalil hukum.
d)
Metode
al-Tawaqquf.
Yang dimaksud dengan metode al-tawaqquf adalah hadis-hadis
yang bertentangan didiamkan, tidak dijadikan dalil hukum dalam jangka waktu
yang tidak ditentukan sebelum ditemukan dalil yang menguatkan salah satunya.
e)
Metode
al-Takhyir.
Yang dimaksud dengan metode al-takhyir adalah penyelesaian
hadis yang bertentangan dengan cara memilih salah satu dari beberapa hadis mengenai
persoalan tertentu.[8]
Yang demikian karena beberapa Hadis shahih tentang perihal yang sama
dengan makna yang berbeda-beda tidak diamalkan pada waktu yang bersamaan,
tetapi mesti dipilih salah satunya, seperti yang menyangkut tanawwu’al-ibadah
(hadis-hadis yang menyangkut ragam peribadatan).
6.
Kitab-kitab
Mukhtaliful Hadis.
Kitab paling awal dalam bidang ilmu ini adalah kitab Ikhtilaf
al-hadis, karya imam syafi’i (150-204 H).
Adapun
diantara kitab-kitab Mukhtaliful hadis yaitu:
a.
Ta’wil
Mukhtalif al-Hadis oleh al-Hafidh
Abdullah bin Muslim al-Dainury (213-276). Kitab tersebut merupakan jawaban bagi
para penentang hadis, dan penuduh para ahli hadis yang sengaja mengumpulkan
hadis-hadis yang saling berlawanan dan meriwayatkan hadis-hadis musykil. Dalam
kitab tersebut tampak lahirnya lahirnya belawanan tapi pada hakikatnya tidak
demikian.
b.
Musykil
al-Atsar oleh Imam Abu
Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Thahawy (239-321 H).
c.
Musykil al-Hadis wa Bayanuh oleh Abu Bakar Muhammad al-Asbihany (406 H). Di dalamnya disusun
beberapa hadis Nabawy yang menurut lahirnya diduga serupa dan berlawanan yang
dituduhkan oleh orang-orang yang memusuhi agama. Melalui penjelasan yang
diuraikan dalam kitab terssebut selain didasari oleh nash juga berpihak kepada
analisa yang logis.[9]
1
KESIMPULAN
Ilmu mukhtaliful hadis adalah ilmu yang membahas terhadap
hadis-hadis yang nampak saling bertentangan, lalu mengkompromikan antara
keduanya, atau diunggulkan oleh salah satu keduanya. Di dalam ilmu mukhtaliful
hadis terdapat beberapa metode dalam penyelesaian hadisnya dengan cara: 1) al-Jam’u
wa al-Tawfiq, 2) al-Tarjih, 3) al-Nasakh, 4) al-Tawaqquf,
5) al-Tahyir. Adapun juga kitab-kitab didalam ilmu mukhtaliful hadis: Ta’wil
Mukhtalif al-Hadis, Musykil al-Atsar, Musykil al-Hadis wa Bayanuh.
referensi ;
[1] Muhammad
Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm.
77
[2] Manna’
Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman,
Cet. VII (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013), hlm. 127
[3]Nuruddin, Ulumul
Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 350
[4]Muhammad
Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 80
[6] Muh Zuhri, Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2011), 140-141
[7]Daniel Juned, Ilmu
Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, ( Jakarta; Erlangga,
2010), 116-117
[8]Muhammad
Gufron, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 78-80
[9]Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: teras, 2010),hlm. 332
💯
BalasHapus