Senin, 15 Agustus 2016

HADIST BERDASARKAN KUALITASNYA



Hadits berdasarkan kualitasnya terdiri dari tiga tingkatan hadits yaitu hadist Shahih, Hasan, Dhaif. Hadist tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dari sisi kualitasnya, dalam segi persamaan yaitu sama-sama disebut sebagai hadits yang berasal dari Rasul dan memiliki perbedaan dari segi kualitas perawinya. Suatu hadits dapat dikatakan Shahih apabila kualitas rawinya baik, sedangkan bila kualitasnya menurun satu tingkatan maka hadits tersebut menjadi Hasan, dan bila rawi banyak kekurangan itu menjadi Dhaif.
11.      Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kualitas Rawi :
1)   Hadist Shahih
Shahih menurut bahasa ialah lawan dari sakit, sedangkan menurut istilah adalah “Suatu hadist yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabit) serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih percaya darinya dan tidak ada illat yang benar”. Dari definisi diatas dijelaskan bahwa hadist shahih memiliki lima syarat, yaitu :
a.       Sanadnya bersambung: setiap perawi telah mengambil hadist secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad.
b.      Perawi yang adil: setiap perawi harus seorang yang muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan berperagai yang baik.
c.       Dhabth yang sempurna: setiap perawi harus sempurna hafalanya.
d.      Tidak ada Syudzudz: hadist tersebut tidak syadz, yaitu jika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsisan darinya.
e.       Tidak ada illat yang berat: hadist tersebut tidak boleh cacat.[1]

Contoh hadis Shahih :
Hadis yang di riwayatkan oleh al-bukhori dan muslim , mereka berkata :
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said ,ia berkata: “Meriwayatkan kepada kami Jarir dan ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hairah, ia berkata: ‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: ‘ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang paling baik ?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya : ‘kemudian siapa?’ rasulullah menjawab : ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘kemudian siapa?’ rasulullah menjawab: ‘ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘kemudian siapa ?’ rasulullah menjawab: ‘kemudian bapakmu.”

Pembagian hadis Shahih:
Para ulama ahli hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya.[2]Adapun yang dimaksud dengan shahih  li dzatih ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi. Sedangkan pada Shahih li Ghairihialah hadis yang perawinya kurang sempurna (Qalil ad-dhabit), sehingga dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebenarnya hadissahih ini asalnya bukan hadisShahih melainkan hadis hasan li dzatih. Karena danya syahid atau  mutabi’  yang menguatkanya. Maka hadis li dzatih ini berubah kedudukan menjadi shahih li ghairih, yakni hadis yang keshahihanya dibantu oleh adanya matan atau sanad lainya. Diantara contoh hadis shahih li ghairih adalah hadis riwayat Turmudzi melalui Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasullullah SAW, bersabda:
Tulis arabnya disini ya rudi .
“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”

2)      Hadist Hasan
Secara bahasa Hasan berarti Al-Jamal, yaitu indah, sedangkan menurut istilah, Imam Al-Turmudzi mendefinisikan Hadist Hasan sebagai “setiap Hadist yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta, dan hadist tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.[3]Adapun macam-macam Hadist Hasan, yaitu :
a.       Hadist Hasan li ghairih: hadist dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai muntabi’ dan syahid namun karena rawinya buruk hafalanya, tidak dikenal identitasnya, dan mudallis dapat naik derajatnya menjadi Hasan li ghairih karena dibantu hadist-hadist yang lain. Adapun contoh hadis hasan li ghairih yaitu hadis diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari jalan syu’bah dari ‘ashim ibn ‘ubaidillah dari ‘abdullah ibn ‘amir ibn rabi’ah dari ayahnya bahwa : “ seorang wanita dari bani fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal, maka rasulullah SAW. bertanya: “ apakah engkau merelakan dirimu sedangkan engkau hanya mendapat mahar sepasang sandal?” maka wanita itu menjawab: “rela, maka rasul pun membolehkannya.”
b.      Hadist Hasan li dzatih: hadist yang memenuhi syarat hadist hasan yaitu sebagaimana syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa rawinya hanya kelompok shaduq yaitu setara dengan tingkatan tersebut.[4]
Kriteria hadis hasan ada lima, sebagai berikut:
a.       Sanadnya bersambung.
b.      Perawinya adil.
c.       Perawinya dhabith, tapi ke-dhabith-annya di bawah ke-dhabith-an perawi hadist shahih.
d.      Tidak terdapat kejangalan atau syadz.
e.       Tidak ber’illat.
3)      Hadits dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat), sedangkan menurut istilah “hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula di dapati syarat hadits hasan.[5]
Hadis Dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, dibandingkan dengan hadis Shahih dan Hasan namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis Dhaif. Sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, yaitu:
a)      Para ulama muhaqqiq berpendapat bahwa hadis Dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan dengan masalah akidah atau hukum-hukum fikih, targhib, dan tarhib maupun dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikihdari madzhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari madzhab Syafi’iyah, dan Ibnu Hazm.
b)      Padahal kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif adalah kebalikan dari hadis shahih menurut terminologi ualma-ulama terdahulu.
c)      Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman ber-maksiat-edt) dan fadhilah-fadhilah amal, sedangkan untuk masalah akidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.[6]
Syarat-syarat hadits dhaif  :
a.       Rawinya adil.
b.      Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
c.       Sanadnya bersambung.
d.      Tidak terdapat suatu kerancuan.
e.       Tidak terdapat illat yang merusak.
f.       Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntunkan (tidak mencelakakan).[7]

Pembagian hadits dhaif :
a.       dhaif ditinjau dari segi kesambungan sanad
1.      hadis mursal
2.      hadis muqati’
3.      hadis mu’dhal
4.      hadis mu’allaq, contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab mengenai “Menutup Paha”, ‘Berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW. menutup kedua lutut beliau ktika Utsman masuk”. Hadis diatas adalah Mu’allaq, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
5.      hadis mudallas
b.      dhaif ditinjau dari segi sandarannya
1.      hadis mauquf
2.      hadis maqtu’
c.       dhaif ditinjau dari cacatnya perawi
1.      hadis matruk, contoh hadis matruk yaitu hadis Amr Ibn Syamr al-Ja’fi al-Kufi al-Syi’i dari Jabir dari Abial-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata, “adalah Nabi SAW. pada shalat subuh dan bertakbir pada hari arafah mulai dari shalat subuh dan berakhir pada waktu shalat asar di akhir hari Tasyriq”.
2.      hadis munkar
3.      hadis mu’allal
4.      hadis mudraj
5.      hadis maqlub
6.      hadis mudhtharib
7.      hadis mushahhaf[8]
 KESIMPULAN
Klasifikasi hadits yang berdasarkan kualitas rawinya, dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu hadits shahih, hasan, dan dhaif. Dengan mengetahui kualitas hadits ini kita dapat mengetahui tingkatan-tingkatan hadits menurut para tokoh ahli hadits. Hal tersebut juga berguna untuk kita dapat membedakan mana hadits yang shahih, hasan, dan dhaif sehingga tidak terpengaruh hadits yang palsu.




referensi :
[1]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj. Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 117.
[2]Mudasir, Ilmu Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 154.
[3]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail  Media Grup, 2007), hlm. 130-131.
[4]M. Agus Sholahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Puataka Setia, 2008), hlm. 146. 
[5]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj. Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 129.
[6]Ibid., hlm. 131.
[7]Nurudin’Itr, Ulumul Hadits, Cet.II. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 291.
[8]Ibid., hlm. 134-146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar