Hadits berdasarkan kualitasnya
terdiri dari tiga tingkatan hadits yaitu hadist
Shahih, Hasan, Dhaif. Hadist tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dari
sisi kualitasnya, dalam segi persamaan yaitu sama-sama disebut sebagai hadits
yang berasal dari Rasul dan memiliki perbedaan dari segi kualitas perawinya.
Suatu hadits dapat dikatakan Shahih
apabila kualitas rawinya baik, sedangkan bila kualitasnya menurun satu tingkatan
maka hadits tersebut menjadi Hasan,
dan bila rawi banyak kekurangan itu menjadi Dhaif.
11.
Klasifikasi Hadist Berdasarkan
Kualitas Rawi :
1)
Hadist Shahih
Shahih menurut bahasa ialah lawan dari
sakit, sedangkan menurut istilah adalah “Suatu hadist yang sanadnya bersambung
dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil memiliki
kemampuan menghafal yang sempurna (dhabit)
serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih percaya darinya dan tidak
ada illat yang benar”. Dari definisi
diatas dijelaskan bahwa hadist shahih
memiliki lima syarat, yaitu :
a. Sanadnya bersambung: setiap perawi telah mengambil hadist secara
langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad.
b. Perawi yang adil: setiap perawi
harus seorang yang muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan berperagai yang
baik.
c. Dhabth yang sempurna: setiap perawi harus sempurna hafalanya.
d. Tidak ada Syudzudz: hadist tersebut tidak syadz, yaitu jika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi
yang lebih tsisan darinya.
e. Tidak ada illat yang berat: hadist tersebut tidak boleh cacat.[1]
Contoh hadis Shahih :
Hadis yang di riwayatkan oleh
al-bukhori dan muslim , mereka berkata :
Meriwayatkan
kepada kami Qutaibah bin Said ,ia berkata: “Meriwayatkan
kepada kami Jarir dan ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hairah, ia
berkata: ‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: ‘ya Rasulullah,
siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang paling baik ?’ Rasulullah
menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya : ‘kemudian siapa?’ rasulullah menjawab :
‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘kemudian siapa?’ rasulullah menjawab:
‘ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘kemudian siapa ?’ rasulullah menjawab:
‘kemudian bapakmu.”
Pembagian hadis Shahih:
Para ulama ahli hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Perbedaan antara kedua
bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya.[2]Adapun
yang dimaksud dengan shahih li dzatih ialah hadis yang tidak memenuhi
secara sempurna persyaratan shahih
khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi. Sedangkan pada Shahih li Ghairihialah hadis yang
perawinya kurang sempurna (Qalil
ad-dhabit), sehingga dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebenarnya hadissahih ini asalnya bukan hadisShahih melainkan hadis hasan li dzatih. Karena danya syahid atau mutabi’ yang menguatkanya. Maka hadis li dzatih ini berubah kedudukan menjadi shahih li ghairih, yakni hadis yang keshahihanya dibantu oleh
adanya matan atau sanad lainya. Diantara contoh hadis shahih li ghairih adalah hadis
riwayat Turmudzi melalui Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa
Rasullullah SAW, bersabda:
Tulis arabnya disini ya
rudi .
“Seandainya tidak memberatkan
umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak melaksanakan
shalat.”
2)
Hadist Hasan
Secara
bahasa Hasan berarti Al-Jamal, yaitu indah, sedangkan
menurut istilah, Imam Al-Turmudzi mendefinisikan
Hadist Hasan sebagai “setiap Hadist
yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya
perawi yang pendusta, dan hadist tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.[3]Adapun
macam-macam Hadist Hasan, yaitu :
a. Hadist Hasan li ghairih: hadist dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah
dan orang fasik, yang mempunyai muntabi’
dan syahid namun karena rawinya buruk
hafalanya, tidak dikenal identitasnya, dan mudallis
dapat naik derajatnya menjadi Hasan li
ghairih karena dibantu hadist-hadist yang lain. Adapun contoh hadis hasan li ghairih yaitu hadis
diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari
jalan syu’bah dari ‘ashim ibn
‘ubaidillah dari ‘abdullah ibn ‘amir ibn rabi’ah dari ayahnya bahwa : “ seorang
wanita dari bani fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal, maka rasulullah
SAW. bertanya: “ apakah engkau merelakan dirimu sedangkan engkau hanya mendapat
mahar sepasang sandal?” maka wanita itu menjawab: “rela, maka rasul pun
membolehkannya.”
b. Hadist Hasan li dzatih: hadist yang memenuhi syarat hadist
hasan yaitu sebagaimana syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa rawinya hanya
kelompok shaduq yaitu setara dengan tingkatan tersebut.[4]
Kriteria hadis hasan ada lima, sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung.
b. Perawinya adil.
c. Perawinya dhabith, tapi ke-dhabith-annya
di bawah ke-dhabith-an perawi hadist shahih.
d. Tidak terdapat kejangalan atau syadz.
e. Tidak ber’illat.
3)
Hadits dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat), sedangkan menurut istilah “hadits yang didalamnya
tidak didapati syarat hadits shahih dan
tidak pula di dapati syarat hadits hasan.[5]
Hadis Dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan,
dibandingkan dengan hadis Shahih dan Hasan namun para ulama melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis Dhaif. Sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka,
yaitu:
a) Para ulama muhaqqiq berpendapat bahwa hadis
Dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan dengan masalah
akidah atau hukum-hukum fikih, targhib, dan
tarhib maupun dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan amal).
Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, Bukhari dan
Muslim. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikihdari madzhab
Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari madzhab Syafi’iyah, dan Ibnu Hazm.
b) Padahal kebanyakan ahli fikih
membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis
dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan
yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik, dan Ahmad.
Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif adalah kebalikan dari hadis shahih menurut terminologi ualma-ulama terdahulu.
c) Sebagian ulama membolehkan untuk
mengamalkan dan memakai hadis dhaif
dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif
khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman
ber-maksiat-edt) dan fadhilah-fadhilah amal, sedangkan untuk masalah akidah dan
hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.[6]
Syarat-syarat hadits dhaif
:
a. Rawinya adil.
b. Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak terdapat suatu kerancuan.
e. Tidak terdapat illat yang merusak.
f. Pada saat dibutuhkan, hadits yang
bersangkutan menguntunkan (tidak mencelakakan).[7]
Pembagian hadits dhaif
:
a. dhaif ditinjau dari segi kesambungan
sanad
1. hadis mursal
2. hadis muqati’
3. hadis mu’dhal
4. hadis mu’allaq, contohnya yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab mengenai “Menutup
Paha”, ‘Berkata Abu Musa, “Rasulullah
SAW. menutup kedua lutut beliau ktika Utsman masuk”. Hadis diatas adalah
Mu’allaq, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu
Musa al-Asy’ari.
5. hadis mudallas
b. dhaif ditinjau dari segi sandarannya
1. hadis mauquf
2. hadis maqtu’
c. dhaif ditinjau dari cacatnya perawi
1.
hadis matruk, contoh hadis matruk yaitu hadis Amr Ibn Syamr al-Ja’fi al-Kufi al-Syi’i dari
Jabir dari Abial-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata, “adalah Nabi SAW. pada shalat subuh dan
bertakbir pada hari arafah mulai dari shalat subuh dan berakhir pada waktu
shalat asar di akhir hari Tasyriq”.
2.
hadis munkar
3.
hadis mu’allal
4.
hadis mudraj
5.
hadis maqlub
6.
hadis mudhtharib
7.
hadis mushahhaf[8]
KESIMPULAN
Klasifikasi hadits yang berdasarkan
kualitas rawinya, dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu hadits shahih, hasan, dan
dhaif. Dengan mengetahui kualitas hadits ini kita dapat mengetahui
tingkatan-tingkatan hadits menurut para tokoh ahli hadits. Hal tersebut juga
berguna untuk kita dapat membedakan mana hadits yang shahih, hasan, dan dhaif
sehingga tidak terpengaruh hadits yang palsu.
referensi :
[1]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj.
Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 117.
[2]Mudasir, Ilmu Hadist, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 154.
[3]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Grup, 2007), hlm. 130-131.
[4]M. Agus Sholahuddin, Agus
Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung:
Puataka Setia, 2008), hlm. 146.
[5]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj.
Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 129.
[6]Ibid., hlm. 131.
[7]Nurudin’Itr, Ulumul Hadits, Cet.II. (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 291.
[8]Ibid., hlm. 134-146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar