11.
Pedoman
Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat
Para sahabat adalah penyambung lidah
Rasulullah Saw. Untuk melaksanakan tugas itu mereka mengerahkan seluruh
kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak melalaikan suatu perkara yang sangat
mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan. Berikut ini
beberapa strategi syariat dalam menetapkan dasar periwayatan dan kaidah ilmu
periwayatan yang shahih ditempuh sebagai pedoman yang dapat diikuti.
Allah
berfirman dalam QS. An-Nahl: 105 yang artinya :
“
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang- orang yang tidak
beriman kepada ayat- ayat Allah, dan mereka itulah orang- orang pendusta.
“
Bahkan
Rasulullah Saw juga bersabda : “ Barangsiapa sengaja berdusta atasku, maka
hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka. “
Oleh karena itu, mereka
menggunakan kaidah periwayatan hadis yang sangat sederhana, sesuai dengan
kebutuhan waktu itu untuk memastikan kesahihan riwayat dan menjauhi kesalahan.
Kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan zaman hingga mencapai
puncaknya.[1]
22. Penulisan
dan Pedoman- Pedomannya
Sebelum datangnya agama
islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga
mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi ( tidak bisa membaca dan menulis ).
Dalam Al- Qur’an Allah juga berfirman
dalm QS. Al- Jumu’ah: 2 yang artinya
“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi
(buta huruf) seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat–ayat Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah
(As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“
Pembahasan ini mengungkap perhatian
khusus para Muhadditsin terhadap
penulisan hadits, sehingga mereka menjadi panutan bagi para ulama lain.
Penulisan hadits dan pembukuan hadits berkembang, menjadi unsur yang amat
penting sekaligus merupakan faktor dominan yang dijadikan pegangan oleh para
ulama dalam menghafalkan hadits ; setelah sanad menjadi panjang dan ilmu hadits
telah banyak cabang, sehingga penguasaan terhadapnya menjadi sulit pabila tidak
dibantu dengan kitab. Dan kitab hadits itu akhirnya mempunyai peran yang sangat
besar menyerupai kedudukan rawi.
Tata cara penulisan hadits
Diantara hal penting yang
dapat menentukan kesahihan suatu naskah dan kemudian bisa dimanfaatkan adalah
sebagai berikut :
Para penulis dan para pelajar hadits wajib
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk memantapkan hadis yang mereka tulis atau
yang mereka dapatkan dari tulisan orang lain sesuai dengan keadaan ketika
hadits itu diriwayatkan, baik yang berkenaan dengan syakalnya maupun titinya,
agar tidak terjadi kesalahan
a.
Para ulama
menganjurkan agar lafal yang bersyakal hendaknya diberi keterangan cara
membacanya dalam matan, lalu ditulis pula pada catatan kakinya, dilengkapi
dengan keterangan cara membacanya pula.
b.
Semestinya
para pencari ilmu dan pelajar hadits selalu menuliskan salawat dan salam kepada
Rasulullah Saw.
c.
Penulis dan
pencari hadits hendaknya membandingkan kitabnya dengan kitab asli yang didengar
oleh guru atau dengan naskah guru yang diriwayatkan kepadanya, meskipun cara
periwayatannya dengan jalan ijazah.
d.
Beberapa
kesalahpahaman tentang pencatatan hadis:
a)
Salah
tafsir atas kata-kata tadwin,tasnif, dan kitabah
b)
Salah paham
terhadap istilah haddatsana, akhbarana, ’an
c)
Klaim bahwa
ingatan orang Arab; adanya hadis Nabi yang menentang pencatatan hadis
d) Salah tafsir atas pernyataan ulama mengenai pencatataan hadis.[2]
Istilah – Istilah dalam Penulisan Hadits
a.
Memberi
tanda baca huruf- huruf yang tidak bertitik. Yakni memindahkan titik–titik yang
berada di atas huruf–huruf tidak bertititik yang menyerupainya.
b.
Lingkaran
pemisah antara dua hadits atau antara dua alinea. Yaitu sebagai tanda yang
mereka buat untuk memisahkan dan membedakan antara dua hadits.
c.
Al- Takhrij : yakni
menuliskan sesuatu yang tidak termuat dalam suatu kitab, dan ditulis dibagian
pinggir kitabtersebut.
d.
Al- Hawasyi : yakni
kalimat yang ditulis dipinggir halaman atau dibawahnya yang berupa catatan,
penafsiran, atau perbedaan cara baca.
e.
Al- Tashhih adalah
menuliskan lafal diatas suatu kalimat
atau disampingnya.
f.
Al- Tamridh adalah
kalimat yang kedatangan dan periwayatannya sahih, tetapi rusak lafal dan
maknanya, atau dhaif, sehingga kalimat itu tidak dapat dibenarkan dari segi
bahasa arab atau janggal dan sebagainya.
g.
Al- Dharb adalah
garis memanjang yang terdapat pada kalimat yang salah dan dikehendaki untuk
ditiadakan dari kitab yang bersangkutan.
h.
Pemberian
kode atau lambang bagi lafal–lafal yang diuulang- ulang dalam sanad.Apabila
suatu hadits memiliki 2 sanad atau lebih, maka ketika hendak berpindah dari 1
sanad ke sanad lain maka menuliskan lambang
untuk isyarat perpindahan sanad, tetapi ada pendapat lain juga.[3]
13.
Periwayatan
Hadits
1.
Masa
Nabi
Hadits
yang di terima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat, karena pada
umumnya para sahabat sangat berminat untuk memperoleh hadits nabi dan kemudian
menyampaikannnya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan pengakuan sahabat
nabi sendiri, misalnya, al- Barra’ bin
‘Azib al- Awsiy telah menyatakan: “ Tidaklah kami semuanya (dapat langsung)
mendengar hadis Rasulullah saw (karena diantara) kami ada yang tidak memiliki
waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang – orang tidak ada yang
berani melakukan kedustaan (terhadap hadis nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan
terjadinya hadis nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang- orang hyang tidak
hadir.
Di
samping itu, kebijaksanaan nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah, baik
untuk tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil
peranannya dalam penyebaran hadis. Hadis nabi yang telah diterima oleh para
sahabat, ada yang dihafal dan ada yang dicatat. Para sahabat banyak yang
menghafalkan hadis, baik secara sendiri–sendiri maupun berkelompok. Abu Hurairah mengatakan bahwa ia selalu
membagi malam menjadi tiga, untuk tidur, sembah yang dan untuk menghafal hadis.
Anjuran untuk menghafal hadis juga banyak, seperti yang dilakukan oleh Ali bin
Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah dan masih banyak lagi.
Minat
besar para sahabat nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh
beberapa hal. Diantara hal yang menonjol adalah :
a. Petunjuk
Allah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang harus
diikuti dan ditaati oleh orang yang beriman dan menjadi teladan ( uswah hasanah ).
b. Allah
memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan.
c. Nabi
memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang
tidak hadir.
d. Pada
umumnya masyarakat cenderung mengikuti perkembangan dan tingkah laku
pemimpinnya, lebih–lebih bila pemimpinnnya itu dinilai berhasil.
2.
Masa
Sahabat
Setelah
nabi wafat, kepemimpinan islam berada di bawah kendali para sahabat. Yaitu Abu Bakar lalu Utsman bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Mereka dikenal dengan sebutan khulafauurrasyidin.
Berikut ini dikemukakan
sikap Khulafaurrasyidin tentang
periwayatan hadis :
a.
Abu
Bakar Al- Shiddiq
Abu
Bakar sangat berhati- hati dalam periwayatn
hadis, sehingga dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relatif
tidak banyak. Dismping ada alasan lain mengapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar hanya relatif sedikit yaitu :
a. Jarak
waktu antara kewafatannya dengan kewafatan nabi sangat singkat
b. Kebutuhan
akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya
c. Dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjadi sebagai khalifah
b.
Umar
bin Khattab
Kebijakan
umar agar para sahabat nabi tidak memperbanyak periwayatan hadis, tidaklah
berarti bahwa umar melarang para sahabat meriwayatkan hadis sama sekali.
Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati- hati dalam periwayatan hadis dan
agar perhatian masyarakat terhadap al- Qur’an tidak terganggu. Hal ini
diperkuat dengan bukti- bukti sebagai berikut :
a) Umar
pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis.
b) Umar pada
suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadis nabi dari para
ahlinya, karena mereka lebih mengetahui dan lebih memahami kandungan Al-
Qur’an.
c) Umar sendiri
cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Ahmad bin hanbal telah meriwayatkan hadis
nabi yang berasal dari riwayat umar sekitar tiga ratus hadis.
c.
Utsman
bin Affan
Dalam
suatu khutbah, utsman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak
meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Utsman
ini menunjukkan pengakuan utsman atas sikap hati- hati khalifah pendahulunya.
Sikap hati hati itu ingin dilanjutkannya pada zaman kekhalifahannya.
Utsman
sendiri tampaknya memang tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan hadis nabi yang berasal dari riwayat utsman sekitar empat puluh
hadis saja. Itupun banyak matan hadis
yang terulang karena perbedaan sanad.
d.
Ali
bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak jauh berbeda
sikapnya dengan para khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara
umum, Ali baru bersedia menerima
riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah
bahwa hadis yang disampaikannya itu benar – benar berasal dari nabi.
Ali bin Abi Thalib
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Hadis yang diriwayatkannya,
selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan. Ahmad bin hanbal telah
meriwayatkan hadis nabi dari Ali bin Abi
Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian matan dari hadis tersebut
berulang- ulang karena perbedaan sanadnya. Kebijaksanaan Khulafaurrasyidin tentang periwayatan hadis :
1) Seuruh
khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati- hati dalam periwayatan
hadis.
2) Larangan
memperbanyak periwayatan hadis
3) Penghadiran
sasksi atau pengucapan sumpah bagi periwayat hadis merupakan salah satu cara
untuk meniliti riwayat hadis.
4) Masing
– masing khalifah telah meriwayatkan hadis.
3. Masa al Tabi’un
Beberapa
bukti yang yang menggambarkan secara umum besarnya perhatian ulama hadis pada
masa al–tabi’un salah satunya Muhammad bin Muslim bin syihab al- Zuhri pernah
diminta oleh Hisyam bin Abd al- Malik untuk
mendiktekan hadis nabi yang akan dihadiahkan kepada anaknya. Kalangan sahabat
nabi ada yang memiliki banyak murid. Jumlah murid yang mencatat hadis dari
gurunya dapat dikemukakan sebagai berikut : kalangan murid Anas bin Malik, kalangan murid Aisyah,
Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abdul Aziz bin Marwan bin al- Hakam dan
lain lain.[4]
Abu
Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur
Madinah), ia mengirim instruksi yang antaralain:
“ Perhatikan atau periksalah hadits
Rasulullah kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali Hadits Rasul SAW”.
4.
Masa
Atba’ al – Tabi’in
Sekitar
pertengahan abad kedua Hijriah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadist di
berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu
muncul. Ada yang menyatakan, kitab himpunan hadist yang terdahulu muncul adalah
karya ‘Abdul Malik ibn Jurayj al-Bishri
(w.150 H), ada yang menyatakan karya Malik
Ibn Anas (w.179 H=795 M), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya.
Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis nabi saja, tetapi juga
menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-tabi’un.
Ulama kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun
hadis-hadis nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria penyusunannya. Mereka
diantaranya adalah Abu’ Abdullah Muhammad
ibn Isma’il al-Bukhari(w.256 H = 870 M) menghimpun hadis-hadis sahih dan
menyusunnya dalam sebuah kitabyang berjudul al-Jami’
al-Musnad al-Shahih atau Shahih
al-Mukhtasar min al- Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘adl an’ Rasul Allah saw dan
dikenal dengan sebutan al-Jami’ al-Shahih
atau Shahih Muslim.
Muncul kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti
bab-bab fikih dan kualitas hadisnya ada yang sahih dan ada yang tidak sahih.
Karya-karya dimaksud dikenal dengan nama kitab al-Sunan diantaranya adalah Abu
Dawud Sulayman ibn al-Asy’ as al-Sijistani(w. 275 H=888 M), Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrah
al-Tirmidzi (w. 279 H = 892 M), Ahmad
ibn Syu’aib al-Nasai(w. 303 H = 915 M), dan ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yazid ibn ‘Abdullah ibn Majah al-Qazwini
(w. 273 H= 886 M).
Karya-karya al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasai diatas disepakati oleh
mayoritas ulama hadis sebagai kitab-kitab hadis yang bertaraf standar dan
dikenal sebagai al-Kutub al-Khamsah(lima
Kitab Hadis Standar).
Penetapan kestandaran didasarkan didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan:
a) Hampir
seluruh hadis yang berkualitas sahih telah terdapat di dalam kitab-kitab
tersebut.
b) Hampir
seluruh masalah yang terkandung dalam hadis nabi telah terhimpun dalam
kitab-kitab tersebut.
c) Secara
umum kitab-kitab tersebut lebih baik daripada kitab-kitab hadis lainnya,
dilihat dari segi susunannya, isinya, dan kualitasnnya.
KESIMPULAN
Para
sahabat adalah penyambung lidah Rasulullah Saw. Untuk melaksanakan tugas itu
mereka mengerahkan seluruh kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak
melalaikan suatu perkara yang sangat mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau
dari berbagai perubahan. Dalam penulisan hadits ada beberapa cara penulisan
hadits dan istilah istilahnya. Di dalam penulisan hadis juga ada kesalahpahaman
dalam penulisan. Periwayatan hadits juga ada proses nya yaitu mulai dari
Rasulullah lalu Masa Sahabat khulafaurrasyidin, Masa Tabi’in lalu Masa Arba’
Al- Tabain.
referensi :
[1]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.42 [3]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, hlm. 232-236
[1]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.42 [3]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, hlm. 232-236
[4]Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis, (Jogjakarta
; Pustaka Pelajar, 2013), hlm.65-89.
[5]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang:Rasail
Media Group, 2007), hlm.90.
[6]Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis, hlm. 90-93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar