Senin, 15 Agustus 2016

SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI PEMBUKUAN HADITS



11.     Pedoman Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat
Para sahabat adalah penyambung lidah Rasulullah Saw. Untuk melaksanakan tugas itu mereka mengerahkan seluruh kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak melalaikan suatu perkara yang sangat mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan. Berikut ini beberapa strategi syariat dalam menetapkan dasar periwayatan dan kaidah ilmu periwayatan yang shahih ditempuh sebagai pedoman yang dapat diikuti.
Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 105 yang artinya :
“ Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang- orang yang tidak beriman kepada ayat- ayat Allah, dan mereka itulah orang- orang pendusta. “ 
Bahkan Rasulullah Saw juga bersabda : “ Barangsiapa sengaja berdusta atasku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka. “
Oleh karena itu, mereka menggunakan kaidah periwayatan hadis yang sangat sederhana, sesuai dengan kebutuhan waktu itu untuk memastikan kesahihan riwayat dan menjauhi kesalahan. Kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan zaman hingga mencapai puncaknya.[1]
22.   Penulisan dan Pedoman- Pedomannya
Sebelum datangnya agama islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi ( tidak bisa membaca dan menulis ).
Dalam Al- Qur’an Allah juga berfirman dalm QS. Al- Jumu’ah: 2 yang artinya “ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat–ayat Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“
Pembahasan ini mengungkap perhatian khusus para Muhadditsin terhadap penulisan hadits, sehingga mereka menjadi panutan bagi para ulama lain. Penulisan hadits dan pembukuan hadits berkembang, menjadi unsur yang amat penting sekaligus merupakan faktor dominan yang dijadikan pegangan oleh para ulama dalam menghafalkan hadits ; setelah sanad menjadi panjang dan ilmu hadits telah banyak cabang, sehingga penguasaan terhadapnya menjadi sulit pabila tidak dibantu dengan kitab. Dan kitab hadits itu akhirnya mempunyai peran yang sangat besar menyerupai kedudukan rawi.
Tata cara penulisan hadits
Diantara hal penting yang dapat menentukan kesahihan suatu naskah dan kemudian bisa dimanfaatkan adalah sebagai berikut :
Para penulis dan para pelajar hadits wajib mencurahkan seluruh perhatiannya untuk memantapkan hadis yang mereka tulis atau yang mereka dapatkan dari tulisan orang lain sesuai dengan keadaan ketika hadits itu diriwayatkan, baik yang berkenaan dengan syakalnya maupun titinya, agar tidak terjadi kesalahan
a.       Para ulama menganjurkan agar lafal yang bersyakal hendaknya diberi keterangan cara membacanya dalam matan, lalu ditulis pula pada catatan kakinya, dilengkapi dengan keterangan cara membacanya pula.
b.      Semestinya para pencari ilmu dan pelajar hadits selalu menuliskan salawat dan salam kepada Rasulullah Saw.
c.       Penulis dan pencari hadits hendaknya membandingkan kitabnya dengan kitab asli yang didengar oleh guru atau dengan naskah guru yang diriwayatkan kepadanya, meskipun cara periwayatannya dengan jalan ijazah.
d.       
Beberapa kesalahpahaman tentang pencatatan hadis:
a)      Salah tafsir atas kata-kata tadwin,tasnif, dan kitabah
b)      Salah paham terhadap istilah haddatsana, akhbarana, ’an
c)      Klaim bahwa ingatan orang Arab; adanya hadis Nabi yang menentang pencatatan hadis
d)     Salah tafsir atas pernyataan ulama mengenai pencatataan hadis.[2]
Istilah – Istilah dalam Penulisan Hadits
a.       Memberi tanda baca huruf- huruf yang tidak bertitik. Yakni memindahkan titik–titik yang berada di atas huruf–huruf tidak bertititik yang menyerupainya.
b.      Lingkaran pemisah antara dua hadits atau antara dua alinea. Yaitu sebagai tanda yang mereka buat untuk memisahkan dan membedakan antara dua hadits.
c.       Al- Takhrij : yakni menuliskan sesuatu yang tidak termuat dalam suatu kitab, dan ditulis dibagian pinggir kitabtersebut.
d.      Al- Hawasyi : yakni kalimat yang ditulis dipinggir halaman atau dibawahnya yang berupa catatan, penafsiran, atau perbedaan cara baca.
e.       Al- Tashhih adalah menuliskan lafal    diatas suatu kalimat atau disampingnya.
f.       Al- Tamridh adalah kalimat yang kedatangan dan periwayatannya sahih, tetapi rusak lafal dan maknanya, atau dhaif, sehingga kalimat itu tidak dapat dibenarkan dari segi bahasa arab atau janggal dan sebagainya.
g.      Al- Dharb adalah garis memanjang yang terdapat pada kalimat yang salah dan dikehendaki untuk ditiadakan dari kitab yang bersangkutan. 
h.      Pemberian kode atau lambang bagi lafal–lafal yang diuulang- ulang dalam sanad.Apabila suatu hadits memiliki 2 sanad atau lebih, maka ketika hendak berpindah dari 1 sanad ke sanad lain maka menuliskan lambang   untuk isyarat perpindahan sanad, tetapi ada pendapat lain juga.[3]
13.      Periwayatan Hadits
1.      Masa Nabi
Hadits yang di terima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat, karena pada umumnya para sahabat sangat berminat untuk memperoleh hadits nabi dan kemudian menyampaikannnya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan pengakuan sahabat nabi sendiri, misalnya, al- Barra’ bin ‘Azib al- Awsiy telah menyatakan: “ Tidaklah kami semuanya (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw (karena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang – orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang- orang hyang tidak hadir.
Di samping itu, kebijaksanaan nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah, baik untuk tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis. Hadis nabi yang telah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada yang dicatat. Para sahabat banyak yang menghafalkan hadis, baik secara sendiri–sendiri maupun berkelompok. Abu Hurairah mengatakan bahwa ia selalu membagi malam menjadi tiga, untuk tidur, sembah yang dan untuk menghafal hadis. Anjuran untuk menghafal hadis juga banyak, seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah dan masih banyak lagi.
Minat besar para sahabat nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal. Diantara hal yang menonjol adalah :
a.       Petunjuk Allah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang harus diikuti dan ditaati oleh orang yang beriman dan menjadi teladan ( uswah hasanah ).
b.      Allah memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan.
c.       Nabi memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir.
d.      Pada umumnya masyarakat cenderung mengikuti perkembangan dan tingkah laku pemimpinnya, lebih–lebih bila pemimpinnnya itu dinilai berhasil.
2.      Masa Sahabat
Setelah nabi wafat, kepemimpinan islam berada di bawah kendali para sahabat. Yaitu Abu Bakar lalu Utsman bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka dikenal dengan sebutan khulafauurrasyidin.
Berikut ini dikemukakan sikap Khulafaurrasyidin tentang periwayatan hadis :

a.      Abu Bakar Al- Shiddiq
Abu Bakar sangat berhati- hati dalam periwayatn hadis, sehingga dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relatif tidak banyak. Dismping ada alasan lain mengapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar hanya relatif sedikit yaitu :
a.       Jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan nabi sangat singkat
b.      Kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya
c.       Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjadi sebagai khalifah
b.      Umar bin Khattab
Kebijakan umar agar para sahabat nabi tidak memperbanyak periwayatan hadis, tidaklah berarti bahwa umar melarang para sahabat meriwayatkan hadis sama sekali. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati- hati dalam periwayatan hadis dan agar perhatian masyarakat terhadap al- Qur’an tidak terganggu. Hal ini diperkuat dengan bukti- bukti sebagai berikut :
a)      Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis.
b)      Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadis nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih mengetahui dan lebih memahami kandungan Al- Qur’an.
c)      Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Ahmad bin hanbal telah meriwayatkan hadis nabi yang berasal dari riwayat umar sekitar tiga ratus hadis.
c.       Utsman bin Affan
Dalam suatu khutbah, utsman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Utsman ini menunjukkan pengakuan utsman atas sikap hati- hati khalifah pendahulunya. Sikap hati hati itu ingin dilanjutkannya pada zaman kekhalifahannya.
Utsman sendiri tampaknya memang tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis nabi yang berasal dari riwayat utsman sekitar empat puluh hadis saja. Itupun banyak matan hadis yang terulang karena perbedaan sanad.
d.      Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak jauh berbeda sikapnya dengan para khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadis yang disampaikannya itu benar – benar berasal dari nabi.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Hadis yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan. Ahmad bin hanbal telah meriwayatkan hadis nabi dari Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian matan dari hadis tersebut berulang- ulang karena perbedaan sanadnya. Kebijaksanaan Khulafaurrasyidin tentang periwayatan hadis :
1)      Seuruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati- hati dalam periwayatan hadis.
2)      Larangan memperbanyak periwayatan hadis
3)      Penghadiran sasksi atau pengucapan sumpah bagi periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meniliti riwayat hadis.
4)      Masing – masing khalifah telah meriwayatkan hadis.
3.      Masa al Tabi’un
Beberapa bukti yang yang menggambarkan secara umum besarnya perhatian ulama hadis pada masa al–tabi’un salah satunya Muhammad bin Muslim bin syihab al- Zuhri pernah diminta oleh Hisyam bin Abd al- Malik untuk mendiktekan hadis nabi yang akan dihadiahkan kepada anaknya. Kalangan sahabat nabi ada yang memiliki banyak murid. Jumlah murid yang mencatat hadis dari gurunya dapat dikemukakan sebagai berikut : kalangan murid Anas bin Malik, kalangan murid Aisyah, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abdul Aziz bin Marwan bin al- Hakam dan lain lain.[4]
Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi yang antaralain:
“ Perhatikan atau periksalah hadits Rasulullah kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali  Hadits Rasul SAW”.
4.      Masa Atba’ al – Tabi’in
Sekitar pertengahan abad kedua Hijriah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadist di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang menyatakan, kitab himpunan hadist yang terdahulu muncul adalah karya ‘Abdul Malik ibn Jurayj al-Bishri (w.150 H), ada yang menyatakan karya Malik Ibn Anas (w.179 H=795 M), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-tabi’un.
      Ulama kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria penyusunannya. Mereka diantaranya adalah Abu’ Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari(w.256 H = 870 M) menghimpun hadis-hadis sahih dan menyusunnya dalam sebuah kitabyang berjudul al-Jami’ al-Musnad al-Shahih atau Shahih al-Mukhtasar min al- Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘adl an’ Rasul Allah saw dan dikenal dengan sebutan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
      Muncul kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fikih dan kualitas hadisnya ada yang sahih dan ada yang tidak sahih. Karya-karya dimaksud dikenal dengan nama kitab al-Sunan diantaranya adalah Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ as al-Sijistani(w. 275 H=888 M), Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrah al-Tirmidzi (w. 279 H = 892 M), Ahmad ibn Syu’aib al-Nasai(w. 303 H = 915 M), dan ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yazid ibn ‘Abdullah ibn Majah al-Qazwini (w. 273 H= 886 M).
      Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasai diatas disepakati oleh mayoritas ulama hadis sebagai kitab-kitab hadis yang bertaraf standar dan dikenal sebagai al-Kutub al-Khamsah(lima Kitab Hadis Standar).
      Penetapan kestandaran didasarkan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan:
a)      Hampir seluruh hadis yang berkualitas sahih telah terdapat di dalam kitab-kitab tersebut.
b)      Hampir seluruh masalah yang terkandung dalam hadis nabi telah terhimpun dalam kitab-kitab tersebut.
c)      Secara umum kitab-kitab tersebut lebih baik daripada kitab-kitab hadis lainnya, dilihat dari segi susunannya, isinya, dan kualitasnnya.

    KESIMPULAN
Para sahabat adalah penyambung lidah Rasulullah Saw. Untuk melaksanakan tugas itu mereka mengerahkan seluruh kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak melalaikan suatu perkara yang sangat mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan. Dalam penulisan hadits ada beberapa cara penulisan hadits dan istilah istilahnya. Di dalam penulisan hadis juga ada kesalahpahaman dalam penulisan. Periwayatan hadits juga ada proses nya yaitu mulai dari Rasulullah lalu Masa Sahabat khulafaurrasyidin, Masa Tabi’in lalu Masa Arba’ Al- Tabain.
 
 
referensi :
[1]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.42                   
[2]Muhammad Musthafa Azami, Ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1977) ,hlm.51.

[3]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, hlm. 232-236
[4]Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis, (Jogjakarta ; Pustaka Pelajar, 2013), hlm.65-89.
[5]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang:Rasail Media Group, 2007), hlm.90.
[6]Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis, hlm. 90-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar