Selasa, 16 Agustus 2016

ilmu kalam



A.    Ahlussunnah Wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran  Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah dalam sejarah merupakan golongan minoritas. Selanjutnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis yang  mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Menurut Harun Nasution, mungkin inilah yang menimbulkan istilah Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariah masuk dalam barisan sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[1] Harun Nasution_dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah_ menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.[2] Dalam ahlussunnah Wal Jama’ah didalamnya terdapat dua aliran yaitu aliran Al-Asy’ari dan Al-Maturudi.

1.     Al-Asy’ari
              i.            Riwayat singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. ketika berusia lebih sari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M).  berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.[3]

            ii.            Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Diantara pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a)       Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib.Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia dihadapkan dengan kelompok sifatiah(pemberi sifat) kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat semua sifat disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-NYA , dan tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah , tetapi dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis( berbeda dengan kelompok sifatiah ). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Manusia, tetapi –sejauh menyangkut realitasnya (Haqiqah)- tidak terpisah dari esensi-NYA. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[4]
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia (anthropomorphisme). Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai muka, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana (Arsy) dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).[5]

b)      Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Perbuatan-perbuatan manusia menurut Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, melainkan ada kerjasama dengan Allah Swt. Artinya perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. namun yang mewujudkan perbuatan itu adalah kerjasama antara Allah dan manusia. Allah Swt. memberikan daya kepada manusia sehingga bisa mewujudkan perbuatan tersebut dan manusia sebagai wadah yang menerima daya tersebut. Kalau dipersentasekan perbuatan manusia itu adalah 90% Allah dan 10% manusia. Istilah yang dipakai Al-Asy’ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya dalam diri manusia tak mempunyai efek.

c)       Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Menurut aliran Asy’ariyah, akal itu disebut instrumen pengetahuan dan wahyu disebut sebagai instrumen mengharuskan. Aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa wahyu itu disebut sebagai konfirmasi dan informasi artinya wahyu itu digunakan sebagai penguat apa yang telah disimpulkan oleh akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[6]


d)      Qodimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan nahwa al-Qur’an diciptakan (makhluk) dan tidak qadim. Sedangkan pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah(yang qodim tidak diciptakan).  Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy-Ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an terdiri dari kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan Qadim.[7]

e)       Melihat Allah
Menurut aliarn Asy’ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat kelak dengan mata kepala. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]

f)        Keadilan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak.[9]

g)       Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu Al- Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[10]

2.     Al-Maturidi
             I.            Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil didaerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitan pertangah abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk mrnghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang di masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.[11]

          II.            Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a)      Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya Al-Maturidi mendasarkan pada Al-quran dan akal. Menurut Al-Maturudi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam  usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan  memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban  lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu.

b)     Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan Qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan  manusia.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Dalam  masalah pemakaian daya Al-Maturidi  membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau  buruk tetap dalam kehendak Tuhan tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.

c)      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik dan yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al- Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang- wenang serta kehendaknya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.


d)     Sifat Tuhan
Seperti halnya Al-Asy’ari, Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebagainya. Menurut Al-Maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulai zamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa terpisah.
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.[12]
e)      Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak diakhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak diakhirat tidak memperkenalkan  bentuknya (bila kaifa). Karena  keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan didunia.
f)       Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan  kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis) Al-Quran dalam  arti kalam  yang  tersusun dari huruf dan  kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi tidak dapat diketahui  hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya dan manusia tidak dapat  mendengar atau  membacanya kecuali dengan perantara.[13]


g)      Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali kalau ada hikamh  dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat  mencipta  atau  kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya
h)     Pengutusan Rasul
Menurut Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti wahyu yang disampaikan rosul berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannnya. Pengutusan rosul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia berbuat baik dan tebaik dalam kehidupannya dengan ajaran para rosul.
i)        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang-orang yang syirik. Menurut Al-Maturidi iman itu cukup dengan  tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman oleh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.[14]





 Kesimpulan
            Ahlusunah (sunni) sebenarnya bukan merupakan sebuah kelompok namun sunni adalah umat islam yang berpegang teguh terhadap al quran dan hadist Nabi Muhammad SAW. Istilah ahlusunah muncul karena para muslimin yang menentang aliran mutazilah yang tidak terlalu  berpegang pada sunah dan meragukan tradisi yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.
            Sebenarnya rasulullah telah bersabda bahwa akan terjadi perpecahan umat islam menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua dari golongan tersebut masuk neraka sedang hanya satu yang masuk surga dan Rasulullah menyebutnya dengan nama jamaah. Namun para ulama berpendapat bahwa jamaah yang dimaksud  adalah ahlusunah wal jamaah hal ini disandarkan pada Nabi yang bersabda “maka hendaklah kamu berpegang dengan sunahku dan sunah khlafaur al-rasyidin yang mendapat petunjuk”( HR. Abu Daud  no : 4607dan at-Tirmidzi no :2676.)
Dalam ahlusunah terdapat dua golongan yaitu as asiyah dan maturidi kedua golongan ini mempunyai kesamaan dalam prinsip berpegang teguh terhadap sunah nabi SAW dan sunah para sahabat.

referensi :
[1]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 146.
[2]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm 64
[3]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm 146-147
[4]Ibid, hlm 147-148
[5]
[6]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm 146-147
[7] Ibid, hlm 149
[8]Ibid, hlm 150
[9]Ibid,
[10]Ibid,
[11]Ibid, hlm 150-151
[12]Ibid, hlm 154
[13]Ibid,hlm 155
[14]Ibid, hlm 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar