A.
Ahlussunnah
Wal Jama’ah
Istilah
Ahlussunnah Wal Jama’ah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah
dalam sejarah merupakan golongan minoritas. Selanjutnya kaum Mu’tazilah
tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka
tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu
akan keoriginalan hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi itu.
Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang
teguh pada sunnah.
Dengan demikian
kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula
golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Menurut Harun Nasution, mungkin
inilah yang menimbulkan istilah Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah
yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Adapun
ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua
pengertian, yaitu umum dan khusus.
Sunni dalam pengertian umum adalah kelompok syi’ah. Dalam pengertian
ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariah masuk dalam barisan
sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam
barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[1] Harun Nasution_dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah_
menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.[2] Dalam ahlussunnah Wal Jama’ah didalamnya
terdapat dua aliran yaitu aliran Al-Asy’ari dan Al-Maturudi.
1.
Al-Asy’ari
i.
Riwayat
singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap
Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut
beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. ketika
berusia lebih sari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada
tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn
Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli
Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat
kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang
tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung
Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). berkat didikan ayah tirinya itu,
Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I
dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis
buku yang membela alirannya.[3]
ii.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Diantara pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah
sebagai berikut :
a)
Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin
mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa
mengesakan Allah adalah wajib.Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang
ekstrem. Pada satu pihak, ia dihadapkan dengan kelompok sifatiah(pemberi sifat)
kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat
bahwa Allah mempunyai sifat semua sifat disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah
bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain,
ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain selain esensi-NYA , dan tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau
kursi tidak boleh diartikan secara harfiah , tetapi dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan
Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh
diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis( berbeda dengan kelompok
sifatiah ). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat Allah unik dan tidak
dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat
Allah berbeda dengan Manusia, tetapi –sejauh menyangkut realitasnya (Haqiqah)-
tidak terpisah dari esensi-NYA. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[4]
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya
yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia (anthropomorphisme). Tuhan
dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai muka, mata, wajah, tangan serta bersemayam
di singgasana (Arsy) dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu
dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).[5]
b)
Kebebasan
dalam berkehendak (Free Will)
Perbuatan-perbuatan manusia menurut Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan
oleh manusia itu sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, melainkan ada
kerjasama dengan Allah Swt. Artinya perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah
Swt. namun yang mewujudkan perbuatan itu adalah kerjasama antara Allah dan
manusia. Allah Swt. memberikan daya kepada manusia sehingga bisa mewujudkan
perbuatan tersebut dan manusia sebagai wadah yang menerima daya tersebut. Kalau
dipersentasekan perbuatan manusia itu adalah 90% Allah dan 10% manusia. Istilah
yang dipakai Al-Asy’ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb.
Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya dalam diri manusia tak
mempunyai efek.
c)
Akal
dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Menurut aliran Asy’ariyah, akal itu
disebut instrumen pengetahuan dan wahyu disebut sebagai instrumen mengharuskan.
Aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa wahyu itu disebut sebagai konfirmasi dan
informasi artinya wahyu itu digunakan sebagai penguat apa yang telah disimpulkan
oleh akal.
Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[6]
d)
Qodimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal
qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan nahwa al-Qur’an diciptakan
(makhluk) dan tidak qadim. Sedangkan pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah(yang qodim tidak
diciptakan). Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan
yang saling bertentangan itu, Al-Asy-Ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an
terdiri dari kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada
esensi Allah dan Qadim.[7]
e) Melihat Allah
Menurut aliarn Asy’ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat kelak
dengan mata kepala. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat
tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[8]
f)
Keadilan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu
adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus
menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Menurutnya, Allah memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak.[9]
g) Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah
yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur,
predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir.
Oleh karena itu Al- Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur.[10]
2. Al-Maturidi
I.
Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah
kota kecil didaerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti,
hanya diperkirakan sekitan pertangah abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333
H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya
Al-Balakhi. Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk
mrnghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang di masyarakat islam, yang
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.[11]
II.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a) Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya Al-Maturidi mendasarkan
pada Al-quran dan akal. Menurut Al-Maturudi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang mengandung perintah agar manusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak
akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Menurut Al-Maturidi, akal tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu.
b) Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini
Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia
dengan Qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia
bebas menggunakannya. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara Qudrat
Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada
manusia. Dalam masalah pemakaian daya
Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah,
yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam melakukan baik atau buruk
tetap dalam kehendak Tuhan tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak
diridai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat
buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.
c) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu
dalam wujud ini, yang baik dan yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi,
pernyataan ini menurut Al- Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan
berkehendak dengan sewenang- wenang serta kehendaknya semata. Hal ini karena
qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d) Sifat Tuhan
Seperti halnya Al-Asy’ari, Al-Maturidi berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebagainya.
Menurut Al-Maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulai zamah (ada bersama, baca:
inheren) dzat tanpa terpisah.
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan
cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada
pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.[12]
e) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat
Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain firman
Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak
diakhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud,
walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak diakhirat tidak memperkenalkan bentuknya (bila kaifa). Karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan
didunia.
f) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun
dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi.
Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun
dari huruf dan suara adalah baharu (hadis) Al-Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi
tidak dapat diketahui hakikatnya dan
bagaimana Allah bersifat dengannya dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya kecuali dengan perantara.[13]
g) Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat
dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan
tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali kalau ada hikamh dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta
atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya
h) Pengutusan Rasul
Menurut Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan
bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.
Jadi, pengutusan rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti wahyu yang disampaikan rosul berarti manusia
membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannnya. Pengutusan
rosul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia berbuat baik
dan tebaik dalam kehidupannya dengan ajaran para rosul.
i)
Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia meninggal sebelum
bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan
untuk orang-orang yang syirik. Menurut Al-Maturidi iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal
adalah penyempurnaan iman oleh karena itu amal tidak akan menambah atau
mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.[14]
Kesimpulan
Ahlusunah (sunni) sebenarnya bukan
merupakan sebuah kelompok namun sunni adalah umat islam yang berpegang teguh
terhadap al quran dan hadist Nabi Muhammad SAW. Istilah ahlusunah muncul karena
para muslimin yang menentang aliran mutazilah yang tidak terlalu berpegang pada sunah dan meragukan tradisi
yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.
Sebenarnya rasulullah telah bersabda
bahwa akan terjadi perpecahan umat islam menjadi tujuh puluh tiga golongan,
tujuh puluh dua dari golongan tersebut masuk neraka sedang hanya satu yang
masuk surga dan Rasulullah menyebutnya dengan nama jamaah. Namun para ulama
berpendapat bahwa jamaah yang dimaksud
adalah ahlusunah wal jamaah hal ini disandarkan pada Nabi yang bersabda
“maka hendaklah kamu berpegang dengan sunahku dan sunah khlafaur al-rasyidin
yang mendapat petunjuk”( HR. Abu Daud no
: 4607dan at-Tirmidzi no :2676.)
Dalam
ahlusunah terdapat dua golongan yaitu as asiyah
dan maturidi kedua golongan ini mempunyai kesamaan dalam prinsip berpegang
teguh terhadap sunah nabi SAW dan sunah para sahabat.
referensi :
[1]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 146.
[1]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 146.
[2]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm 64
[3]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm 146-147
[6]Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm 146-147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar