Minggu, 18 September 2016

SIRAH NABAWIYAH (edisi 14)



DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN
 Di Gua Hira’
Ketika usia Rasulullah SAW telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan diri. Itu beliau lakukan setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dengan kaumnya. Dengan membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke Gua Hira’ di Jabal Nur, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Mekkah, suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1.75 hasta dengan ukuran zira’ al- Hadid ( hasta ukuran besi ).
Keluarga beliau kadang-kadang menyertai kesana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dantidak lupa memberikan makanan kepada setiap warga miskin yang juga datang kesana. Beliau menghabiskan waktu untuk beribadah, memikirkan ke agungan alam disekitarnya dan kekuatan tidak terhingga di balik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan umatnya yang penuh dengan kemusyirkan dan segala persepsi mereka yang tidak pernah lepas dari takhayul. Sementara itu, dihadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.
Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk sisi dari ketentuan Allah ta’ala atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya. Ruh manusia mana pun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan di bawa ke aeah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari kehidupan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.
Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehisupan Rasulullah SAW untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama 3 tahun bagi Rasulullah SAW sebelum membaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kagaiban yang tersembunyi di balik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan kagaiban itu tatkala Allah telah mengizinkannya.

Jibril turun membawa wahyu
Tatkala usia beliau genap 40 tahun- yang merupakan awal usia kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa pada usia inilah para rasul diutus- tanda-tanda nubuwah ( kenbian ) sudah tampak dan mengemuka. Di antaranya, adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada belaiu, terjadinya Ru’ya shadiqah ( mimpi yang benar ) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung selama enam bulan- masa kenabian berlangsung selama 23 tahun- dan ru’ya shadiqah ini bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya di Gua Hira’, tepatnya dibulan Ramadhan, Allan menghendaki rahmat-Nya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Quran.
 Setelah mengamati pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 Masehi. Tepatnya usia beliau saat itu 40 tahun enam bulan12 hari menurut penanggalan qamariyah dan sekitar 39 tahun 3 bulan 20 hari ini menurut penanggalan syamsiyah.
Mari kita dengar sendiri Aisyah ra menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan permulaan nubuwah tersebut dan membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan, sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah. Aisyah berkata,” wahyu mula pertama dialami oleh Rasulullah SAW adalah berupa ru’ya shadiqah ( minpi yang benar ) dalam tidur dan mimpi itu hanya berbentuk fajar subuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di Gua Hira’ ; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya.
Dalam melakukan itu, mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya ; yaitu saat beliau berada di Gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata,’Bacalah!’ Aku ( Rasulullah SAW ) menjawab,’ aku tidak bisa membaca!’ beliau menuturkan,’ kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata,’ Bacalah!’ aku tetap menjawab,’ Aku tidak bisa membaca!’.
Dia memegangku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata lagi,’ Bacalah!’ Aku menjawab,’ Aku tidak bisa membaca.’
Dia memgangku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku lalu berkata :
Bacalah dengan ( menyebut ) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang paling pemurah.”( Al-Alaq : 1-3 )
Rasulullah SAW oulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dia menemui Khadijah binti Khuwalid sembari berucap,” selimutilah aku, selimutilah aku!”maka beliau diselimuti hingga badan beliau tak lagi menggigil layaknya terkena demam.
“Apa yang terjadi padaku?” beliau berkata kepada Khadijah. Beliau memberitahukan apa yang baru saja terjadi. Beliau bersabda,” aku khawatir terhadap keadaanku sendiri.”
Khadijah berkata,” tidak demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, membantu meringankan beban orang lain, member makan yang miskin ,menjamu tamu, dan menolong orag yang menegakan kebenaran.”
Selanjutnya Khadijah binti Khuwalid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang asrani semasa jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta.
Khadijah binti Khuwalid berkata kepada Waraqah,” wahai putra pamanku, dengarlah kisah dari anak saudaramu ( Rasulullah ).”
Waraqah berkata kepada beliau,” apa yang pernah engkau lihat wahai putrid saudaraku ?” Rasulullah SAW mengabarkan apa saja yang pernah dilihatnya.
Akhirnya Waraqah berkata,” ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa, andaikan saja aku masih muda pada masa itu, andaikan aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.”
Beliau bertanya,” Benarkah mereka akan mengusirku?”
“ Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti yang engaku bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh.” Waraqah pun meninggal dunia pada saat-saat turunnya wahyu.
Ath-Thabari dan Ibnu Hisyam meriwaayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa beliau pergi meninggalkan Gua Hira’ setelah mendapat wahyu, lalu menemui istri beliau dan pulang ke Mekkah. Ada pun riwayat Ath-Thabrani menyebutkan secara sekilas sebab keluarnya beliau dari Gua Hira’. Inilah riwayatnya :
                Rasulullah SAW bersabda,” tidak ada makhluk Allah yang paling ku benci selain dari penyair atau orang yang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.” Beliau juga bersabda,” yang paling ingin aku jauhi adalah panyair atau orang yang tidak waras. Sebab, orang-orang Quraisy senantiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa beristirahat dengan tenang.
Beliau bersabda lagi,” aku pun pergi dan hendak melakukan itu. Namun, ditengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata,” wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku Jibril.”
Aku mendongakkan kepala ke arah langit, yang ternyata disana ada Jibril dalam rupa seorang laki-laki dengan wajah berseri, kedua telapak kakinya mengijak ufuk langit, seraya berkata,” wahai Muhammad, engaku adalah Rasul dan aku adalah Jibril.”
Aku berdiam diri sambil memandangnya, bigung apa yang hendak aku kerjakan, tidak berani melangkah maju atau pun mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang di tempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali aku memandang arah langit yang lain, disana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun aku maju ke depan atau surut kebelakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwalid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan, mereka sampai ke Mekkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seoerti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dari ku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku.
Sesampainya di rumah aku langsung duduk diatas paha Khadijahsambil bersadar kepadanya. Khadijah berkata,” wahaii Abul Qasim, kemana saja engkau tadi ? Demi Allah, aku telah mengirimbeberapa orang untuk mencarimu hingga mereka sampai di Mekkah, namun kembali lagi tanpa hasil.” Kemudian aku memberitahukan apa yang kulihat. Dia berkata,” bergembiralah wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di tangan-Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”
Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk  menemui Waraqah dan mengbarkan kepadanya. Waraqah berkata,” Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah yang ada di tangan-Nya, Namus yang Besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.”
Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Tatkala Rasulullah SAW meninggalkan isterinya dan pergi ke Mekkah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturan langsung dari beliau, Waraqah berkata,” demi diriku yang ada di tangan-Nya, engkau adalah benar-benar Nabi umat ini. Namus yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang kepada Musa.”

Wahyu terputus
Mengenai hal ini, sebagai mana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas yang intinya bahwa masa terputusnya wahyu berlangsung selama beberapa hari. Pendapat inilah yang lebih kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun rwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama 3 tahun atu 2,5 tahun tidaklah shahih sama sekali, namun disini bukan tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.
Pada mas terputusnya wahyu itu, Rasulullah SAW hanya diam dalam keadaan termenung sedih. Kegelisahan melingkui diri beliau. Dalam kitab At-Ta’bir, Imam Al- Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:
“menurut berita yang sampai kapada kami, wahyu berhenti turun hingga membuat Nabi SAW sedihdan berkali-kali berlari kegunung dan ingin menjatuhkan diri dari jurang, namun setiap beliau sampai puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata,” wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar-benar utusan Allah! motivasi ini dapat menenangkan dan memantapkan jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun ketika wahyu tak kunjung turun, beliau pun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya ; dan ketika sampai ke puncak gunung , malaikat Jibril menampakan wujudnya dan berkata kepada beliau seperti sebelumnya.

Jibril turun membawa wahyu untuk kedua kalinya
Ibnu Hajar menuturkan,” selama wahyu terputus untuk beberapa hari lamanya, beliau ingin ketakutan dan kedukaannya segera sirna dan kembali seperti sebelumnya. Tatkala baying-bayang kebingungan mulai surut, dan beliau kembali menunggu-nunggu turunnya wahyu, Allah memuliakan beliau dengan wahyu yang ke dua kalinya.”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang berasal dari langit. Aku mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ , sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Aku mendekatinya hingga tiba-tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan,” selimutilah aku, selimutilah aku!” lalu Allaj ta’ ala  menurunkan  surat Al- Mudatsir ayar satu sampai 5. Setelah turunnya ayat di atad,maka wahyu datang secara berturut-turut.

Sedikit penjelasan tentang pembagian-pembagian wahyu
Sebelum kita membahas jehidupan beliau pada masa kenabian dan kerasulan, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pembagian-pembagian wahyu, yang merupakan sumber risalah dan batasan-batasan dakwah. Ibnul Qayyim Al- Jauziyyah berkata bahwa tahapan wahyu sebagai berikut :
1.       Mimpi yang hakiki. Ini merupakan permulaan wahyu yang turun kepada Nabi SAW.
2.       Sesuatu yang dibisikkan ke dalam hati beliau, tanpa dilihatnya. Ini seperti yang telah disabdakan oleh beliau SAW:
“ Ruhul Qudus menghembuskan ke dalam hatiku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sebelum di sempurnakan rezekinya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah, baguskanlah dalam meminta, dan janganlah kalian menganggap lamban datangnya rezeki,sehingga kalian mencarinya dengan cara menduharkai Allah, karena apa yang ada di sisi Allah ta’ala tidak akan diperoleh kecuali dengan mentaati-Nya.” 
3.       Malaikat muncul di hadapan Nabi SAW dalam rupa seorang laki-laki, lalu berbicara dengan beliau hingga beliau bisa menangkap secara langsung apa yang dibicarakannya. Dalam tingkatan ini kadang-kadang para sahabat juga bisa melihatnya.
4.       Wahyu itu datang menyerupai bunyi lonceng. Ini merupakan wahyu yang paling berat dan malaikat tidak terlihat oleh pandangan Nabi SAW hingga dahi beliau berkerut mengeluarkan keringat sekali pun pada waktu yang sangat dingin, dan hingga hewan tunggangan beliau menderum ke tanah jika beliau sedang menaikinya. Wahyu ini sekali pernah datang tatkala paha beliau di atas Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid merasa keberatan dan hampir saja dia tidak kuat menyangganya.
5.       Rasulullah SAW bisa melihat malaikat dalam rupa aslinya, lalu menyampaikan wahyu seprti yang dikehendaki Allah ta’ala kepada beliau. Yang demikian pernah beliau alami dua kali, sebagai mana yang disebutkan Allah ta’ala dalam surat An-Najm( ayat 13-14, dan surat At- Takwir ayat 22-23-pnj ).
6.       Wahyu yang disampaikan Allah ta’ala  kepada beliau, yaitu di atas lapisan-lapisan langit pada malam mi’raj, berisi kewajiban shalat dan lainnya.
7.       Allah ta’ala berfirman secara langsung dengan Rasulullah SAW tanpa menggunakan perantara, sebagai mana Allah berfirman dengan Musa bin Imran. Wahyu semacam ini secara pasti berlaku bagi Musa berdasarkan nash Al-Quran dan menurut penuturan beliau dalam hadist tentang isra’.
Sebagian pakar sejarah menambahi dengan tingkatan wahyu yang ke delapan, yaitu Allah ta’ala berfirman secara langsung di hadapan beliau tanpa ada tabir. Ini termasuk masalah yang diperselisihkan di antara ulama’ salaf dan khalaf.
Begitu uraian singkat mengenai tingkatan-tingkatan wahyu, dari yang pertama hingga yang kedelapan. Namun, yang pasti tingkatan terakhir ini merupakan pendapat yang tidak kuat.
Bersambung…………..( perintah melaksanakan dakwah kepada Allah dan materi dakwah)  
sumber ;
Al-Rahiq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Nabi Muhammad)
Karya : Syaikh Safiyyurrahman Al-Mubarakfuri  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar