Selasa, 16 Agustus 2016

NASAKH WA MANSUKH



A.     
1.      Pengertian
a.      Nasakh
Menurut bahasa   Nasakh berarti:
1)   Menghapuskan, seperti سَخَتْ الشَّمْسُ الظِلَّ“matahari menghapus bayangan”.
2)   Memindahkan, seperti نَسَخْتُ الْكِتَا بَ“saya memindahkan isi suatu kitab ke dalam kitab yang lain”.
Menurut Ahli Usul Nasakh adalah:
رَفْعُ السَّا رِعِ حُكْمٌا شَرْ عِيٌّا بِدَ لِيْلٍ شَرْ عِىِّ مُتَأَ خَرٍ عَنْهُ
“Diangkatnya suatu hukum syara’ dengan dalil syar’i yang datang kemudian”.
Menurut bahasa Nasakh adalah dalil yang menunjukan terhapusnya hukum yang ditetapkan dalam khitob terdahulu, Mansukh adalah hukum yang ditetapkan dalam khitob terdahulu yang di hapus oleh khitob yang datang kemudian.[1]

b. Nasikh
Menurut bahasa adalah hukum syara’ yang menghapuskan atau yang menghilangkan. Jadi yang membedakan antara Nasakh dengan Nasikh adalah kalau Nasakh adalah masdar sedangkan Nasikh adalah isim fa’il (pelaku). Menurut istilah adalah hukum yang menggantikan hukum yang terdahulu dengan hukum yang sekarang yang ada dibawahnya.

c. Mansukh
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dihapus. Sedangkan menurut istilah adalah hukum yang belum diubah dan diganti dengan hukum yang baru.
Ilmu Nasakh waMansukh adalah:
عِلْمُ يُىْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّا سِخِ وَ الْمَنْسُوْ خِ مِنَ الأَ حَا دِ يْثِ
“Ilmu yang menerangkan hadist-hadist yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.[2]
Jadi penulis simpulkan bahwa Nasakh waMansukh adalah menggantikan apa yang telah ada sehingga menimbulkan aturan yang baru yang lebih sesuai.

2.      Dalil yang Me- Nasakh dan Di-Taskh
1)      Al-Qur’an di Nashkh dengan Al-Qur’an
2)      Hadist di Nashkh dengan Al-Qur’an
3)      Al-Qur’an di Nashkh dengan Hadist
4)      Hadits di-Nashkh dengan Haditslain
Al-Qur’an tidak boleh di Nashkh dengan hadits, baik dengan hadits mutawatir maupun hadits ahad. Tapi kalau hadist bisa di Nashkh dengan Al-Qur’an.[3]

3.      Syarat penetapan Nasakh
1)   Hukum yang di Mansukh tidak berkaitan dengan waktu. Kalau dikaitkan dengan waktu tidak ada Nasakh dan Mansukh. Seperti sabda Nabi:
لاَصَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَ لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَى تَغْرُبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada (tidak dibenarkan)shalat sesudah shubuh sampai terbit matahari dan tidak ada shalat sesudah asar sampai terbenam matahari”.
Jadi, larangan melakukan shalat sesudah shubuh sampai terbit matahari, bukan berarti menghapuskan kebolehan melakukan shalat setelah terbit matahari. Begitu pula larangan shalat sesudah asar sebelum terbenamnya matahari bukan berarti menghapuskan kebolehan mengerjakan shalat setelah terbenamnya matahari.
2)   Yang di Mansukh adalah hukum syara yang bukan diwajibkan atau diharamkan karena dzatnya, seperti iman dan kufur.
3)   Pembatalan Nasakh adalah dengan hukum syara. Sehingga misalnya tidak berlakunya hukum atas orang mati bukanlah Nasakh, karena mati bukanlah hukum syara dan bahwa tidak ada beban taklif kepada orang mati sudah dapat dipastikan.
4)   Yang me-Nasakh datangnya lebih akhir dari pada yang di Mansukh dan tidak bersambung. Kalau tersambung seperti syarat, sifat dan pengecualian, maka yang seperti itu tidaklah disebut Nasakh.[4]

4.      Tanda-tanda Terjadinya
1)      Redaksi hadits sendiri menunjukan demikian. Sebagaimana hadits Malik, Muslim, Abu Daud, An Nasha’i, at-Tirmidzi bahwa Nabi bersabda: “Dulu aku pernah melarangmu menziarahi kubur, maka sekarang ziaralah kamu ke sana. Karena ziarah kubur itu akan mengingatkanmu pada akhirat”.
2)      Ada penjelasan dari sahabat yang menunjukan terjadinya Nasakh. Sebagaimana hadist riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi dari Uba’ bin Ka’ab: “Adalah air (kewajiban mandi) itu dari sebab keluarnya air, itu suatu keringanan pada permulaan Islam, kemudian Nabi memerintakan mandi (meskipun tidak keluar air) jika sudah bertemu dua khitam”.
3)      Waktu terjadinya kedua hadits diketahui.
4)      Diketahui bahwa adanya ijma’ Ulama bahwa salah satu dari hadits tersebut datangnya riwayat dari orang lain.[5]

5.      Macam-Macam Nasakh
1)      Menghapus tulisan bukan hukum.
2)      Menghapus hukum bukan tulisan.
3)      Menghapus hukum dan tulisan secara bersamaan.[6]

6.      Pro dan kontra Nasakhdan Mansukh
1)      Ulama yang mendukung
a.     Imam Syafi’i
b.     Annahas
c.     Assyaukani
Pendapatnya adalah:
a.       Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106
b.      Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 101
c.       Adanya kenyataan bahwa ayat ada yang menunjukan gejala kontradiksi.
2)      Ulama yang menolak
a.     Imam Fahrurrozi
b.     Abu Muslim Asfihani
c.     Rasyid Ridlo
d.    Muhammad Abduh
Pendapatnya adalah:
a.    Al-Qur’an suratAl-Kahfi 27
b.    Al-Qur’an adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.[7]
c.    Hal ini merupakan hal yang mengada-ada.[8]

7.      Contoh Kitab Nasakh dan Mansukh
Ulama yang mengarang kitab tentang Nasakh Wa Mansukh:
1)      Ahmad ibn Ishaq ad-Dinary (318) H
2)      Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322) H
3)      Ahmad ibn Muhammad an-Nahhas (338) H
4)      Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584) H (Al-I’tibar)
5)      Ibnu Abd al-Haqq (744) H (ringkasan dari kitab Al-I’tibar)[9]

8.      Contoh Nasakh dan Mansukh
Contohnya adalah hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa`i dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw bersabda :
اَفْطَرَ الْحَا جِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Artinya: “Batalpuasa orang yang berbekamdan yang dibekam”.
Dalammenanggapihadist di atas, Imam Syafi’IberpendapatbahwahadisttersebutdinasakhdenganhadistIbnu Abbas yang diriwayatkanoleh Muslim sebagaiberikut:
اَنَّ  النَّبِيِّ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِحْتَجَمَوَهُوَمُحْرِم صَاعِمُنْ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw berbekam, padahal beliau dalam keadaan ihram dan berpuasa”.[10]


9.      Hikmah keberadaan Nasikh dan Mansukh
1)   Memelihara kemaslahatan umat dengan syariat yang lebih manfaat untuk dunia dan akhirat.
2)   Masa perkembangan suatu hukum hingga mencapai kesempurnaan.
3)   Memberi keringanan pada umat muslim.
4)   Supaya suatu hukum itu relevan dengan perkembangan zaman.[11]

10.  Urgensi Mempelajari Nasakh dan Mansukh
Pengetahuan mendalam akan Nasakh memudahkan kita menentukan mana yang dahuli dan yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan Al-Qur’an dan menampakan kepada kita hikmah Allah mendidik makhluk. Bahkan menerangkan kepada kita bahwasannya Al-Qur’an datang dari Allah, karena Allah-lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki.


          KESIMPULAN
Nasakh waMansukh adalah dalil atau aturan yang terdahulu kemudian digantikan yang baru yang lebih baik dan yang lebih menyesuaikan kehidupan manusia yang akan datang. Dan tentunya hal ini bersifat positif dan tidak akan menyesatkan manusia melainkan akan lebih mementingkan kemaslahatan manusia dikemudian hari.




referensi ;
[1]Saeful Hadi, Ulumul Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Konprehensif, (Yogyakarta: Sabda Media, 2008), hlm. 81.
[2]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 121.
[3]Saeful Hadi, hlm. 95-102.
[4]Ibid., hlm. 82-83.
[5]Saeful Hadi, hlm. 83-84.
[6]Ibid, hlm. 87-90.
[7]Saeful Hadi, hlm. 98-99.
[8]Acep Hermawan, Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 164.
[9]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, hlm. 121.
[10]Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadist dan Mustholah Hadit,(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014). hlm. 95.
[11]Saeful Hadi, hlm. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar