Senin, 15 Agustus 2016

HADIS MAUDHU’ DAN PERMASALAHANNYA



1.        Pengertian Hadis Maudhu’
Secara bahasa, kata maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a yang berarti al-isqath (menggugurkan), al-tark (meninggalkan), al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat).[1] Sedangkan secara istilah, hadis maudhu’ adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara dusta.[2]
Menurut pendapat ulama seperti Imam al-Nawawi yang terdapat dalam buku Studi Ilmu Hadis karya Mohammad Nor Ichwan, hadis maudhu’ adalah hadis yang diciptakan dan dibuat-buat.[3]
Definisi hadis maudhu’ lain yang terdapat dalam buku Studi Ilmu Hadis karya Mohammad Nor Ichwan, dikemukakan oleh Shubhi al-Shalih yang menyatakan bahwa Hadis maudhu’ adalah suatu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan kemudian mereka sandarkan kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya mengada-ada atas nama beliau.[4]
Dari uraian diatas kelompok kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud hadis
maudhu’ adalah hadis yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat oleh seseorang, kemudian ia mengatasnamakannya dari Rasulullah SAW.
2.        Dasar Munculnya Hadis Maudhu’
Seperti yang tercantum dalam buku Studi Hadis karya Dr. Idri, dikatakan bahwa latar belakang munculnya hadis maudhu’ menurut Ahmad Amin, yaitu hadis maudhu’ telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Dasarnya adalah munculnya hadis: 
مَنْ كَذَّ بَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّاءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّا رِ
”Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”[5]
Ulama Hadis lain berpendapat, bahwa munculnya hadis maudhu’ untuk pertama kalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertikaian politik.[6]
Dari uraian diatas, kelompok kami menyimpulkan bahwa, hadis-hadis bermasalah kategori palsu sudah ada sejak masa Ali menjadi khalifah. Sementara hadis-hadis dha’if  lain yang statusnya lebih ringan dimungkinkan terjadi sebelum masa itu, terutama setelah Nabi wafat.
3.        Faktor-faktor Penyebab Pemalsuan Hadis
Adapun faktor-faktor penyebab kemunculan hadis-hadis palsu (al-maudhu’) antara lain adalah :
1.        Pertentangan Politik
Perpecahan politik di kalangan umat muslim yang dimulai semenjak masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H) berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan  dibuatnya hadis-hadis palsu untuk mendukung faksi masing-masing golongan.[7]
2.        Usaha Kaum Zindiq
Kaum zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka melakukan pemalsuan hadis dengan tujuan menghancurkan agama Islam dari dalam.[8]
3.        Ashbiyah
Yakni fanatik kebangsaan, kekabilahan, kebahasaan, dan keimanan.[9]
4.        Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.
5.        Perselisihan dalam Fiqih dan Ilmu Kalam
Munculnya hadis-hadis palsu dalam masalah-masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut Madzhab yang didorong sikap fanatik serta ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.[10]
6.      Membangkitkan Gairah Beribadah, Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan
Banyak di antara ulama yang membuat hadis palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjunjung tinggi agama-Nya.[11]
7.        Menjilat Penguasa
Pembuatan hadis ini terjadi pada masa Bani Abbasiyah. Para pembuat hadis yang sebagiannya ulama al-sa’ (jahat) itu berusaha mencari muka kepada para penguasa dengan harapan bisa memperoleh fasilitas dari mereka.
Dari uraian diatas kami menyimpulkan bahwa tujuan membuat hadis palsu ada yang mempunyai nilai positif dan nilai negatif. Apapun alasannya, perlu ditegaskan bahwa membuat hadis palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan.
4.        Cara Mengetahui Hadis Maudhu’
Ada beberapa cara untuk mengetahui hadis maudhu’ antara lain :
a.        Tanda-tanda pada Sanad
Tanda-tanda ke-maudhu’-an hadis yang terdapat pada sanad, antara lain sebagai berikut:
Pertama, atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu, sebagaimana pengakuan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadis tentang fadilah membaca Al-Qur’an, surat demi surat, Goyas bin Ibrahim, dan lain-lain.[12]
Kedua, bahwa perawi tidak mungkin bertemu dengan orang yang diakuinya sebagai gurunya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Ma’mun ibn Ahmad al-Harawi yang telah mengaku mendengar hadis dari Hisyam ibn Hammar, padahal sebenarnya mereka tidak pernah bertemu.[13]
Ketiga, perawi itu terkenal seorang pendusta dan hadisnya tidak diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.[14]
Keempat, keadaan perawi-perawi sendiri serta adanya dorongan membuat hadis. Dapat juga diketahui bahwa hadis itu maudhu’ dengan memperhatikan keadaan-keadaan qarinah yang mengelilingi perawi kala ia meriwayatkan hadis tersebut.[15]
b.        Tanda-tanda pada Matan
Adapun dari segi matan, hadis maudhu’ dapat diketahui melalui ciri-ciri berikut:
Pertama, maknanya rusak. Ibnu Hajar menerangkan bahasa kejelasan lafal ini dititikberatkan pada kerusakan arti sebab periwayatan hadis tidak harus bi al-lafzhi, tetapi ada yang bi al-ma’na.[16]
Kedua, terdapat kerancuan pada lafadz yang diriwayatkan. Artinya, apabila pada lafadz tersebut dibaca oleh seorang ahli bahasa, ia akan segera mengetahui bahwa hadis tersebut adalah palsu dan bukan berasal dari Nabi SAW.[17]
Ketiga, Matannya bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat atau ijma’. Seperti Contoh hadis dibawah ini yang menyalahi firman Allah SWT dalam Qs. Al-An’am [6]: 164.[18]
وَلَدُ الزِّنَا لَايَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَى سَبْعَةٍ أَبْنَاءٍ
”Anak hasil zina tidak masuk ke surga hingga tujuh keturunan.
Sebenarnya hukum yang dikehendaki hadis itu diambil dari At-Taurat.
Keempat, Matannya menyebutkan janji sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil.[19]
Kelima, matan hadis tersebut mendukung mazhab perawinya, sementara perawi tersebut terkenal sebagai seorang yang sangat fanatic terhadap mazhabnya.
Keenam, menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal di masa Nabi SAW.
Ketujuh, menerangkan urusan yang menurut seharusnya, kalau ada, dinukilkan oleh orang ramai.
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa, dengan menggunakan berbagai kriteria tersebut, kita dapat melakukan penilaian apakah suatu hadis disebut palsu atau tidak. Jika terpenuhi satu atau lebih kriteria oleh suatu hadis, maka hadis itu dapat dinyatakan sebagai hadis palsu.
5.        Upaya Penyelamatan
Langkah yang dapat mengantisipasi problema hadis maudhu’ antara lain:
a.         Memelihara sanad hadis.
b.        Menerangkan keadaan para perawi.
c.         Mengetahui tokoh-tokoh yang melakukan pemalsuan hadis.
d.        Studi kritik rawi, yang lebih konsentrasi sifat kejujuran dan kebohongan.[20]
e.         Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadis.
f.         Mengetahui kriteria-kriteria hadis maudhu’.
g.        Menyelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap hadis.
h.        Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan hadis maudhu’ maupun membuat kitab khusus yang memuat hadis-hadis maudhu’ seperti kitab Al-Maudhu’ Al-Kubra karya Abu Al-Fari Abdul Rahman bin Al-Jauzi.[21]
Dapat disimpulkan, upaya diatas dilakukan untuk menjaga kemurnian hadis Nabi SAW serta menjaga umat dari kekeliruan dalam mengamalkan suatu hadis.
6.        Contoh Hadis Maudhu’ dan Pembahasannya
Seperti yang terdapat dalam buku Studi Hadis karya Dr. Idri, hadis yang dinilai palsu dari segi matan misalnya, hadis yang bertentangan dengan ijma’ yang dinyatakan dari Abu Umamah dari Nabi berikut:
عَنْ اَبِى اُمَا مَةَ قَا لَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَا يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ اَدَمَ ذَنْبٌ اَرْ بَعِيْنَ سَنَةً اِذَا كَا نَ مُسْلِمًا , ثُم تَلَا (حَتَّى اِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ بَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةً)
“Dari Abu Umamah katanya, saya ,mendengar Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah ditulis dosa anak Adam selama empat puluh tahun jika ia beragama Islam, kemudian Nabi membaca (ayat), sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun.”
            Hadis diatas oleh Ibn al-Jawzi dinyatakan palsu dari segi matannya. Ketika menilai hadis di atas, ia menyatakan:
“Hadis ini dipalsukan atas Rasulullah. Pembuatnya telah mengada-ada dan hadis ini bertentangan dengan ijma’ umat Islam. Sungguh aneh orang yang menghinakan syariah itu.”[22]
Dengan adanya contoh hadis maudhu’ diatas, diharapkan kita bisa mengetahui penilaian suatu hadis dikatakan palsu adalah salah satunya dari segi matan hadisnya yang bertentangan dengan ijma’.

     KESIMPULAN
Sepeninggal Rasulullah SAW, merupakan waktu yang baik bagi kelompok tertentu untuk membuat hadis palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Pemalsuan hadis ini tidak hanya dilakukan oleh orang muslim saja, tetapi orang non muslim juga. Agar kita dapat membedakan antara hadis maudhu’ dan yang bukan hadis maudhu’, maka para ulama menentukan kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’ beserta cara penyelamatannya. Dengan upaya tersebut diharapkan kita semua bisa menilai dan membedakan kualitas suatu hadis.

referensi :

[1]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Cet. I (Semarang: Rasail Group, 2007), hlm. 151.
[2]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Cet. VII (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 145.
[3]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 152.
[4]Ibid., hlm. 151.
[5]Idri, Studi Hadis, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 165.
[6]Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. IV (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 173.
[7]Idri, Studi Hadis, hlm. 173-174.
[8]Mudasir, Ilmu Hadis, hlm. 175.
[9]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Cet. II (Semarang: Pustaka RizkiPutra, 2009), hlm. 194.
[10]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 158.
[11]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 194.
[12]Mudasir, Ilmu Hadis, hlm. 177.
[13]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 160.
[14]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 184.
[15]Ibid., hlm. 185.
[16]Mudasir, Ilmu Hadis, hlm. 178.
[17]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 160-161.
[18]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 187.
[19]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 163.
[20]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet. VII (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 192.
[21]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, hlm. 163-164.
[22]Idri, Studi Hadis, hlm. 188-189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar